Kejamnya mereka


Tengah hari kemarin, tiba-tiba telepon berbunyi. Kulihat nomer depannya 021, "Ah dari Jakarta, siapa nih," pikirku. Ketika kuangkat, serta merta terdengar suara adikku dalam isak tangis yang meledak. 
Waduh ada yang nggak beres nih, pikirku. "Ana apa nduk?" tanyaku pada adik tersayangku, karena hanya aku dan dia anak perempuan dalam keluarga, dengan campur aduk perasaan bergemuruh di dada. 
"Mas Kohar (suami adikku-red) kecelakaan mbak. Kakinya patah dan gagar otak, harus segera dioperasi," kata dia dengan suara yang tidak jelas karena masih didominasi tangisan.
"Innalillah. Masyaallah. Terus piye," tanyaku kembali dengan kekhawatiran memuncak. Ya Allah, cobaan apa lagi yang Kau ujikan pada adikku di tengah kehamilan anak keduanya yang memasuki usia 7 bulan, pikirku galau.
"Aku tadi ditelepon aparat, katanya sekarang Mas Kohar dibawa ke RS Pertamina Pusat dan dalam waktu 1/2 jam harus segera dioperasi untuk menyelamatkan nyawanya," ujarnya dalam tangis yang semakin keras.
"Aku tadi sudah telepon hpnya, yang nerima aparat. Katanya, 'Suami Anda sudah ditangani bu, sekarang ada di ruang ICU. Mobilnya juga sudah kami amankan. Yang menabrak juga sudah kami tangkap.'"
"Trus aku wis minta tolong saudara Mas Kohar yang di Condet untuk segera ke RS Pertamina. Doakan ya mbak, Mas Kohar nggak papa," pintanya pilu.
"Yo wis nduk, sing sabar ya. Yen iso naik taksi aja kamu nyusul ke RS Pertamina," saranku. Jika jarak tidak terbentang, saat itu ingin rasanya aku terbang ke sana untuk memberikan bantuan yang diperlukan. Ah, sedih sekali rasanya.
Sejurus kemudian aku inisiatif menelpon adik ragilku Fahmi yang masih di Jogjakarta. "Nang, sibuk ra, lagi apa nang. Mbak In (ini aku) lagi wae dikabari Mbak Rani (adikku) kalau Mas Kohar kecelakaan. Kowe langsung golek pesawat ya nang ke Jakarta. Kasihan mbak rani dewean, ra ana kancane," suruhku.
Adikku yang memang anak penurut ini segera mengiyakan, "Nggih mbak."
Akupun kepikiran untuk mengetahui keadaan adik iparku yang kecelakaan. Maka inisiatif kutelepon hpnya. Kalaupun dipegang aparat, aku ingin tahu langsung bagaimana kondisinya saat itu. Maka kupencet nomornya. Tiba-tiba ,"Assalamu'alaikum. Napa mbak," suara orang yang menerima telepon.
Aku kaget karena yang menerima adalah adik iparku sendiri. "Wa'alaikum salam. Lho ini siapa, Dik Kohar?" tanyaku tak percaya.
"Iya mbak, wonten napa?" tanyanya heran karena aku seperti tidak percaya.
"Lho Dik Kohar ra kecelakaan tha," tanyaku dengan penasaran yang memuncak. Bagaimana mungkin orang yang gagar otak bisa komunikasi lancar via telepon.
"Nggak mbak. Ni aku lagi di kantor, ngerjain kerjaan," jawabnya.
"Lho, Di Rani di rumah panik, katanya ada yang nelepon, ngabari kalau dirimu kecelakaan. Ndang telepon dik rani, mesakke, mau ngabari aku mbek nangis-nangis," ungkapku.
"Wah, penipuan kuwi mbak. Yo wis yo wis tak segera telepon rumah," katanya.
Dan ternyata benar. Adikku menjadi korban penipuan. Si penipu itu dengan lihainya mengarang cerita dan meminta adikku mentransfer uang Rp 7,2 juta dengan alasan untuk biaya operasi suaminya. Dan diapun diberi nomor dokter yang katanya menangani suami adikku sekaligus nomor hpnya.
Belum pernah mengalami kejadian seperti ini tentu saja adikku panik. Apalagi dia sedang menunggu kelahiran anak keduanya. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada suaminya. Berbagai kekhawatiran pun mengemuka. Untung saudaranya yang di Condet menenangkan dirinya. "Sudah mbak rani tenang saja di rumah, biar kami yang ngurusi. Saya pernah mengalami kejadian seperti ini dan ternyata penipuan," hibur saudaranya di tengah desakan melalui telepon yang terus menerus dilancarkan, memainkan perasaannya karena sang penipu itu terus memberikan gambaran bahwa suaminya dalam keadaan kritis.
Ketika suaminya telepon ke rumah, setengah percaya dan tidak dia menerimanya. "Aku tuh antara percaya dan tidak mbak pas mas kohar telepon," katanya padaku sehari setelah kejadian itu. "Padahal pas kejadian cuma telponku pertama yang bisa nyambung yang katanya dipegang aparat. Selanjutnya entah sampai puluhan kali kami coba hubungi mas kohar tidak pernah bisa. teleponnya seperti diblokir. Yang bisa menghubngi mas kohar cuma mbak intan," ulasnya.
Alhamdulillah. Drama penipuan yang mengaduk-aduk perasaan itu berakhir dengan memilukan (tentu bagi sang penipu) dan membahagiakan bagi kami karena aksi tersebut berhasil digagalkan.
Duh, kejam sekali ya penipu-penipu itu. Seenaknya saja mempermainkan nyawa dan perasaan orang. Bahkan mereka pun bisa mengacaukan teknologi. Bukankah ini merupakan indikasi bahwa aksi tersebut sudah benar-benar matang direncanakan. Menurut cerita, sudah banyak pula orang yang menjadi korban kejahatan dengan modus operandi yang sama. Karena itu, pesan Bang Napi, "Waspadalah...Waspadalah" 

Komentar

Postingan Populer