Senin, 26 Maret 2018

KLA itu.... Keluarga Layak Anak

Bismillah...

Alkisah, hari itu kita jalan-jalan ke Taman Balekambang, kebetulan pas jadwalnya kakak khilya pulang pondok, maka bolehlah pagi itu kita ingin refresh bersama. Apalagi di Balekambang pas ada event Festival Buah, kalau lihat dari foto-foto yang dishare teman-teman sepertinya sangat menggiurkan. Sambil refresh, itung-itung sekalian hunting buah. Eh tapi bukan itu tema yang kali ini ingin dibahas, hanya prolog saja karena inti dari tema kali ini jauh lebih penting jika dibandingkan dengan hunting buah.

Apakah itu, kita lanjutkan kisahnya ya. Harapan bisa hunting buah ternyata hanya sebatas harapan. Hari itu Balekembang sangat ramai dengan ribuan pengunjung sehingga, bagi saya, merasa tidak begitu nyaman. Maka dikuburlah harapan awal dan dibelokkan pada upaya untuk mengajak anak-anak bersenang-senang, salah satunya dengan menuruti keinginan si kecil bermain di arena balon, naik kereta dan memancing di kolam pancing ikan plastik.

Nah, ada kisah yang menyedihkan nih ketika sedang berada di arena memancing dan menggelitik saya untuk menuliskannya di sini. Ketika sedang menunggu Aji dan kakaknya memancing, datangkan satu keluarga ke arena yang sama dengan kami. Ada ayah, ibu dan 2 orang anak, yang satu usia sekitar 6 tahun dan yang kecil masih sekitar 1 tahun.

Ketika mendekat di arena kami, si ibu sibuk mencarikan anaknya yang kecil tempat untuk memancing. "Ayo dik duduk sini sayang," kata ibunya dengan penuh kasih sayang. 

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan sampai ada satu kalimah yang terucap dari lisan sang ibu dengan nada jengkel. "Kakak...ada apa sih, kalau pengen sesuatu itu ngomong dong, kalau cuma diam gitu mana bunda tahu. Bunda nggak suka kalau seperti itu," ujarnya. Setelah itu perhatian sang bunda kembali tertuju pada sang adik saja.

Jujur, mungkin hal yang sama pernah juga kita lakukan ketika ingin tahu apa yang diinginkan oleh anak kita tapi dia diam seribu bahasa. Iya khan...Target kita adalah supaya anak  berani menyampaikan keinginannya dengan barucap. Si anak mungkin butuh membangun keberanian dan kepercayaan dirinya untuk menyampaikan keinginannya, apakah yang dia inginkan cukup berharga untuk didengarkan, apakah yang dia pikirkan cukup bernilai untuk dihargai?
Dan ketika dia berani berucap, berarti dia sudah berjuang mengalahkan ketakutannya dan apapun yang dia katakan patut mendapat apresiasi. Setidaknya itu yang saya fahami sebagai upaya untuk menghargai anak, sebagai upaya untuk menempatkan anak sebagai pribadi yang memiliki harga diri.

Namun sayangnya kejadian selanjutnya membuat pilu tatkala sang ayah turut ambil andil saat si kakak tak kunjung juga bersuara.
"Ayo kak ngomong dong, kakak mau apa?" tanya sang ayah dengan lembut. Hal itu rupanya menumbuhkan keberanian sang kakak yang akhirnya memberanikan diri untuk berbisik kepada ayahnya.

Saya tidak mendengar apa yang dibisikkan anak itu tapi dari respon yang diberikan ayahnya saya menjadi tahu apa keinginan yang dari tadi dipendamnya. Respon yang membaut pilu hati saya, membuat saya berempati pada anak itu. Nah, apa sih responnya?

Serta merta si ayah berkata dengan sinisnya tapi masih mencoba membalutkan dengan kata-kata lembut, "Oh...jadi kakak ingin memancing, gapapa ayo sini memancing sama adik, kakak khan masih bayi ya. Ini lho dik, kakak masih bayi ingin memancing."

Disayat sembilu

Mendengar kata-kata itu menjadikan hati ini disayat sembilu. Betapa tidak, saya yakin sang kakak pasti sudah mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan apa yang dia inginkan. Namun setelah dia berhasil menaklukkan ketakutan tersebut, tiba-tiba harus menghadapi respon yang menjatuhkan harga dirinya.

Mendengar komentar sang ayah tadi, kakak dengan ragu-ragu mengambil pancing yang ada di depannya dan masih berniat untuk mewujudkan keinginanya meski harga dirinya telah dilukai karena dikatakan sebagai bayi. Tapi lagi-lagi, melihat kakak tetap bersikukuh ingin memancing, sang ayah seperti tidak ikhlas dan serta merta membisikkan kata-kata ke telinga kecilnya dengan suara yang cukup jelas terdengar oleh saya. Kata-kata penekanan lebih dalam lagi dari sebelumnya. "Kakak khan masih bayi ya mau main pancing. Kakak masih bayi...." ujarnya dengan nada mengejek.

Kata-kata itu lengkap dengan intonasinya cukup memberikan gambaran kepada saya bahwa  si ayah ingin kembali menekankan menekankan bahwa memancing tidak layak dilakukan oleh sang kakak jika dia tidak ingin dikatakan sebagai BAYI.

Anda bisa membayangkan bagaimana perasaan sang kakak waktu itu? Seorang anak yang ingin dihargai posisinya sebagai kakak tapi dihancurkan harga dirinya dengan memberinya lebel bayi. Maka demi mempertahankan harga diri, setidaknya di mata orangtuanya, dengan raut muka murung, perlahan dia meletakkan kembali pancing yang sudah di tangannya dan menjauh dari arena.

Melihat apa yang dilakukan anak itu, sang ayah terlihat tersenyum puas karena target tercapai. Memang, si kakak akhirnya tidak bermain pancing untuk mempertahankan harga dirinya. Tapi saya sungguh tidak habis pikir,  apa yang salah dengan bermain pancing bagi seorang anak berusia sekitar 6 tahun. Bukankah melarangnya bermain berarti menghalangi anak untuk mendapatkan haknya? Hak untuk bermain, bereksplorasi, bergembira dan dihargai.

Saya tidak tahu apa alasan sang ayah melarang anaknya bermain pancing. Tapi apapun alasannya, dengan kata-kata dan lebel yang (mungkin) diucapkan sang ayah tanpa rencana, secara tidak sadar telah membuat luka pada hati anaknya. Luka karena tidak dihargai keinginan, pendapat dan harga dirinya untuk satu hal yang sangat logis dilakukan anak-anak. Bisa jadi, hal itu akan menjadikan sang kakak semakin tidak percaya diri dan takut menyampaikan pendapatnya. Bukankan rasa percaya diri pada anak sangat penting untuk masa depannya?

Ayah...bunda...hal kecil itu mungkin lepas dari perhatian kita, betapa anak kecilpun punya harga diri yang penting untuk dihargai. Jaga buah hati kita yuk, jadikan keluarga kita adalah tempat yang nyaman untuk tumbuh kembang anak kita dan yang paling penting menghargai hak-haknya. Tidak hanya kota saja khan yang dipromosiakan menjadi KLA alias Kota Layak Anak, tapi justru yang paling mendasar adalah keluarga kitalah yang harus pertama menjadi KLA yaitu Keluarga Layak Anak. (end)

x

Minggu, 04 Maret 2018

Ekspresi Menentukan Prestasi


Bismillah...

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk introspeksi diri, salah satunya adalah dengan meminta masukan kepada orang-orang yang banyak berinteraksi dengan kita. Melalui cara itu, kadang kita akan menemukan fakta di luar dugaan kita dan jika itu adalah sebuah kenyataan dan bisa membuat kita berubah menjadi lebih positif, mengapa tidak?


Memasuki bulan muharrom, diniatkan untuk melakukan muhasabah. Selain secara mandiri, maka mulailah mencari masukan ke teman-teman kantor dimana saya menghabiskan waktu delapan jam sehari dari jam 08.00 sampai 16.00.


Pada sebuah morning briefing yang dilakukan setiap senin pagi, saya sengaja meminta teman-teman untuk memberikan masukan kepada saya, hal-hal apa yang mereka temui dalam diri saya dan membuat mereka tidak nyaman.


Hasilnya, benar-benar di luar dugaan. Sesuatu yang sama sekali tidak terduga dan menjadi pengamatan, rerasan bahkan pertanyaan di benak mereka. Dan satu hal itu sepenuhnya di luar dugaan saya. Apakah satu hal itu? Ia adalah EKSPRESI.


Teman-teman tim marketing ternyata benar-benar pengamat sejati dari ekspresi saya dan parahnya saya sama sekali tidak menyadarinya. Saya tidak sampai menduga bahwa ekspresi saya akan memberikan dampak besar pada mood dan kinerja mereka. Olala...sungguh jadi feeling guilty bener deh.


Hingga pada suatu saat ketika kita melakukan morning breafing bersama, saya berniat untuk meminta masukan dari tim terkait apapun, termasuk masukan tentang diri saya. Faktanya, ditemukan beberapa masukan yang membuat saya di satu sisi merasa berterima kasih dan di sisi lain merasa bersalah. Ingin tahu apa saja pernyataan mereka?


Let's see:

1. "Mbak Intan...katanya selalu terbuka menerima semua masukan, tapi yang kita rasakan nih setiap kali kita kasih masukan yang tidak sama dengan usulan mbak intan tuh, tiba-tiba ekspresinya langsung berubah gitu. Jadinya kita yang mau meneruskan sudah gak enak hati."
=ehm...suer saya tipe orang terbuka dengan setiap masukan, tapi tiba-tiba ekspresi berubah itu apakah benar begitu ya? itu yang selama ini tidak kusadari. ah..jadi harus lebih berhati-hati nih untuk berekspresi dan belajar untuk mengatur ekspresi yang tidak annoying meski kita merasa biasa-biasa saja.

2. "Kita nggak tahu nih ya mbak, kadang masalah apa yang dipikirkan mbak intan. Tapi ketika pagi hari, kita datang ke kantor, trus lihat mbak intan sudah duduk di depan komputer dengan muka yang serius (baca:cemberut) tuh membuat kita bertanya-tanya. Ada apa ya? Kita punya salah apa ya? trus ujung-ujungnya langsung menerjunkan mood kita, jadi males marketingan. Bener deh mbak, nggak enak bener dilihatnya."

=duh..duh...yang satu ini nih bikin feeling guilty banget. emang sih kadang pagi-pagi udah serius dan sibuk sendiri dengan kerjaan yang terus menggunung gak pernah ada matinya. Tapi semua itu nggak ada kaitannya kok dengan kalian. Maafkan ya kalau akhirnya menjadikan tidak semangat melakukan job. Nah ini nih yang dikatakan ekspresi menentukan prestasi.

Maka kemudian, sejak saat itulah saya berjanji bahwa setiap pagi harus memasang muka manis, tersenyum ceria dan sumringah penuh suka cita. Hehe... Bukan napa-napa sih, kalau mereka gak mood jualan trus target tidak tercapai, maka jadi kacau. Duh...bisa berabe, apa yang saya katakan pada pak bos nantinya. Masak harus ngomong target tidak tercapai gara-gara ekspresi saya. Nggak banget deh. so sad...


Itulah sepengkal kisah saya tentang begitu eratnya kaitan antara ekspresi dan prestasi. Terima kasih buat teman-teman satu timku yang sudah kasih banyak introspeksi untuk bahan muhasabah. Kalian...terbaiiiik.....(end)






Peluang Kebaikan Itu Akan Selalu Ada

 Bismillah "Mbak Intan berhenti bekerja mendapat ladang kebaikan yang lain." Kata-kata itu terucapkan dari Mb Weni, saudara se-RT ...