PERJALANAN CAHAYA
Perjalanan setiap moment, menandakan jejak untuk menjadi muhasabah. Tiada yang patut dikenang kecuali moment yang bisa mendewasakan menuju sumber cahaya abadi.
Minggu, 17 November 2024
Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya
Sabtu, 05 Oktober 2024
Puisi Muhasabah; Renungan Cinta dalam Ikatan
Bismillah...
Dalam sebuah acara Seminar Keluarga Sakinah pada Ahad (29/9/2024), ada amanah yang diberikan, yaitu membuat dan membacakan puisi muhasabah. Maka dengan mengumpulkan dari berbagai sumber, disusunkan puisi ini dan dibacakan di depan 150an peserta yang hadir, sebagai sarana melakukan muhasabah pernikahan.
Ini dia puisi itu:
Renungan
Cinta dalam Ikatan
Siang
ini, di ujung hari yang hening,
Kita
duduk bersisian, tanpa kata terucap,
Memandang
jauh ke cakrawala kehidupan,
Di sana,
cinta yang dulu kita ikrarkan,
masih setia bersemi.
Di awal
kita melangkah,
Cinta
begitu indah,
Janji-janji
terucap di bawah langit biru,
Dengan
hati yang penuh harap, kita menggenggam masa depan.
Namun
waktu berjalan,
Seperti
sungai yang tak pernah berhenti mengalir,
Ada
gelombang yang kadang menghantam,
Ada arus
tenang yang membawa kedamaian.
Memang
tak selalu mudah langkah yang kita tempuh,
Tahun
demi tahun berlalu,
Rambut
mungkin mulai memutih,
Ada air
mata yang tumpah, dan tawa yang pecah,
Namun
dalam badai atau tenang,
Kita
selalu kembali pada janji yang pernah kita genggam erat.
Pernikahan
bukan sekadar tentang tawa,
Ia adalah
perjalanan penuh makna,
Dengan
tangis, lelah, dan rindu,
Di
sela-sela kesibukan dan rutinitas waktu.
Suamiku,
Di setiap
pelukan hangat, ada doa yang tak terucap,
Mengalir
di antara jari-jari yang saling menggenggam,
Melintasi
setiap hari yang kita rangkai Bersama, dalam suka dan duka
Istriku,
Di setiap
langkah yang kita tempuh,
Ada
kenangan yang terukir,
Tentang
perjuangan bersama,
Tentang
pengorbanan tanpa kata, tentang harapan yang terus menyala.
Hari-hari
kita mungkin tak selalu sempurna,
Namun
cinta ini bukan tentang kesempurnaan,
Tapi
tentang kebersamaan yang kita rajut dengan ikhlas,
Dalam sabar,
syukur, dan saling mengingatkan.
Mari kita
muhasabah,
Bukan
tentang siapa yang benar atau siapa yang salah
Tapi
bagaimana kita bisa saling melengkapi dan menguatkan
Di setiap
detik yang Allah titipkan
Kita
belajar mencintai lebih dari sekadar rasa,
Mencintai
dengan hati,
Mencintai dengan iman
Kembali
kita ikrarkan bahwa pernikahan ini adalah ibadah,
Masih
Panjang perjalanan yang harus kita tempuh,
Masih
banyak cerita yang akan kita rangkai,
Semoga ikatan
ini selalu diberkahi,
Di setiap
musim yang datang silih berganti,
Hingga
waktu memanggil kita pulang,
Dalam keabadian, Bersama, di surga yang Alloh janjikan.
Selamat membaca. Next, akan kubacakan puisi ini untuk muhasabah diri sendiri. Jika waktunya tiba
Senin, 12 Agustus 2024
Peluang Kebaikan Itu Akan Selalu Ada
Bismillah
"Mbak Intan berhenti bekerja mendapat ladang kebaikan yang lain."
Kata-kata itu terucapkan dari Mb Weni, saudara se-RT yang sudah akrab denganku dan paling tahu tentangku (dibandingkan tetangga yang lain, hehe). Kami banyak bercerita tentang diri kita dengan nyaman dan aman. Menjaga amanah, insyaAlloh itu yang kami pegang.
Kalimat tersebut diucapkan ketika ada yang menanyakan keberadaanku membantu tetangga yang sedang kesripahan, sajak longgar.
"Mb Intan nggak masuk kantor."
Begitulah kekepoan beberapa tetangga yang sudah mengerti keseharianku. Maka dengan senyum kujawab bahwa aku tidak lagi bekerja.
Meski ditanggapi dengan semakin ingin tahunya mereka tentang alasan diri ini mengapa dan mau kemana setelah berhenti kerja. Kujawab singkat, "Saya ingin lebih bermasyarakat bersama ibu2."
Dan niat itu diijabah oleh Alloh, bahkan di Senin pertama aku tidak bekerja. Sebuah kejadian yang membuatku bersyukur bisa membantu dan memberikan kemanfaatan bagi sekitar, yang pastinya tidak akan bisa kulakukan ketika masih bekerja.
Senin pagi tadi Alloh menunjukkan kehendakNya. Ketika pagi-pagi, Mb Mini (yang bisa membantu di rumah) cerita sepintas bahwa ibu yang rumahnya dipakai untuk senam jatuh dan tidak sadarkan diri. Aku langsung menangkap itu adalah Bu Tino, salah satu sesepuh di lingkunganku.
"Trus pripun kondisinipun mbak (bagaimana kondisinya mbak)," tanyaku.
"Mboten ngertos bu, lha mbake ingkang mbantu ting mriku njih bingung. Wau nyobi menghubungi putranipun (tidak tahu bu, tadi pembantunya bingung. Mencoba menghubungi putranya)," jawab Mb Mini.
Sesaat kemudian (di sinilah kehendak Alloh terjadi) saya punya keinginan untuk melihat kondisi Bu Tino, maka bergegas saya meluncur ke ndalem beliau. Diikuti pandangan heran suami yang kupamiti dengan sepintas.
Betul juga, sampai di sana aku melihat mbaknya sedang bingung. Di samping Bu Tino berbaring ada suami beliau Pak Tino duduk termangu. ketika kutanya kondisi Bu Tino, singkat beliau menjawab, "Mpun mboten wonten mbak (sudah meninggal mbak)."
Melihat kondisi tersebut, segera kutelpon Mb Weni dan Bu Broto, tetangga yang dekat dengan Bu Tino seraya mencari dokter yang bisa memastikan kondisi Bu Tino secara medis. Kebetulan beberapa teman dokter yang ditelpon tidak bisa, hingga akhirnya aku dan Mb Weni ke Pustu Karangasem untuk meminta tolong dokter di sana.
Alhamdulillah ada tenaga kesehatan di Pustu Karangasem yang sigap membantu. Setelah mengecek kondisi Bu Tino dengan cermat, dr Imam (tenaga kesehatan dari Pustu Karangasem) dengan pelan berucap, "Innalillahi wa inna ilaihi roojiun."
Mulai dari situlah kucoba membantu apapun yang kubisa, meringankan keluarga yang sedang berduka. Selama ini, kalau ada yang kesripahan aku paling hanya datang untuk takziah. Namun pagi ini, Alloh memberikan kesempatan untuk memberikan kemanfaatan yang lebih.
Alhamdulillah, apa yang kualami pagi ini membuatku merasa lebih bahagia, melebihi waktu-waktu sebelumnya. Sungguh kurasakan betapa Alloh menuntunku memasuki begitu luasnya ladang kebaikan.
Begitu takjub dengan firman-Nya, "Dan siapa yang mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan kebaikan baginya." [QS Asy syura;23]. Biidznillah...
Turut berduka sedalam-dalamnya atas sedonya BuTino. Aku bersaksi beliau adalah piyantun yang baik. Sesepuh di lingkungan yang sangat bersemangat, menjadi teladan kebaikan. Darinya kudapatkan motivasi dan energi ketika mendapat amanah di lingkungan.
Beliau yang merelakan seragam dan pin PKKnya kupinjam ketika aku belum memiliki sendiri namun harus menghadiri acara di Balaikota mengenakan seragam.
Bahkan ketika aku berniat mengembalikannya, beliau menolak. "Nggak usah dikembalikan, dipakai Mbak Intan saja. Semangat ya mbak," ujarnya.
Hingga sekarang, seragam dan pin itu masih sering kupakai menghadiri berbagai acara PKK. Menjadi saksi mulianya hati ibu. Istirahat tenang di sisi Alloh njih. Alloh lebih mencintai Bu Tino.
Bulakindah, 12 Agustus 2024
Kamis, 19 Oktober 2023
Ada kemauan ada jalan. Tak ada kemauan (pasti) banyak alasan
Bismillah
Setelah sekian lama terjeda, kembali merangkai kata demi kata dalam blog perjalanan cahaya. Ada kalanya memang memerlukan trigger untuk memulai kembali. Menuangkan ide, merangkumnya hingga menyelesaikan cerita dan menekan tombol publikasikan. Rasanya, rangkaian proses itu beberapa waktu ini sulit untuk tuntas.
Sebenarnya bukannya total berhenti untuk menulis di blog. Bertimbun tulisan hanya mengendap di draft dan tidak tertuntaskan dan berbagai deretan tema yang terlintas dalam benak hanya masuk dalam list note kecil yang selalu ditenteng kemanapun. Lalu mengapa lama nggak update tuh blog?
Tak ingin mencari apologi yang akhirnya hanya membuka peluang pemakluman untuk diri sendiri. Ah…gapapa in, khan kamu sibuk; Gapapa belum update blog, khan kamu capek; Kayaknya update blog itu prioritas ke sekian deh, mending focus selesaikan dulu agenda lain yang lebih penting…
Kadang alasan-alasan itu yang ada di fikiran sehingga menjadi justifikasi bagi diri sendiri dan hasilnya, kasihan tuh blog jarang sekali terjamah.
Maka mengikuti challange ini membuat kembali termotivasi untuk melakukan muhasabah dan menghisab diri. “Intan, kamu sudah memulainya, lalu mengapa tidak konsisten,” kataku pada diri sendiri.
Yes, maka satu clue utama yang menjadi penyebab lama tidak update blog adakan tidak konsisten. Tidak konsisten dengan apa yang sudah dimulai, tidak konsisten menuntaskannya.
Konsisten itu memang satu kata yang mudah diucapkan dan dituliskan namun sulit untuk dijalankan. Apalagi dengan berbagai macam alasan yang ada dan bisa diciptakan.
Memang ya, alasan memang gampang untuk diciptakan. Mau berapa alasan yang dibutuhkan? Satu, sepuluh, seratus bahkan seribu asalan bisa dibuat dengan harapan akan ada pemakluman.
Namun aku tak ingin ada pemakluman yang terlalu untuk diri sendiri karena itu akan membuat semakin melemah. Jadi teringat kata ustad dalam sebuah forum mengkaji hikmah dari Perang Tabuk. “Ada kemauan ada jalan. Tak ada kemauan (pasti) banyak alasan.” Maka rentetan selanjutnya dari konsisten adalah kemauan.
Jadi intinya, jika ada kemauan maka kamu tidak akan membutuhkan satu pun alasan karena pasti akan ditemukan jalan.
Termasuk dalam hal konsisten. Untuk menjaga kontinuitas sebuah konsistensi maka faktor utama yang harus terus dijaga adalah selalu terus memelihara kemauan itu tetap ada.
That’s all. Yuk Intan, dijaga kemauannya. Ingat mimpi besar yang ingin kau wujudkan dengan membuat blog. Maka jangan banyak alasan, atur rhitmenya saja dan terus berposes. Tuntaskan apa yang sudah diawali hingga sampai pada titik akhir. Finish.
Minggu, 18 Juli 2021
Kupinang Engkau dengan Tarwiyah
Hari ini, 8 Dzulhijah, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menjalani aktivitas rutin yang dijanjikan Alloh mendatangkan keuntungan berlipat-lipat. Aku pun meyakininya akan mendapatkan apa yang telah Alloh janjikan, bahkan lebih besar dari itu. Maka bagiku, puasa tarwiyah adalah candu yang menarikku untuk terus menjalaninya, di tengah penantian panjang yang tak kunjung terlihat hilal di usiaku yang sudah menginjak kepala 3.
Awalnya tidak ada yang
istimewa, bakda sahur dan sholat subuh aktivitas pagi berjalan normal. Setelah
membereskan rutinitas di rumah yang sudah kutinggali sejak 6 tahun yang lalu
seorang diri, lanjut bersiap-siap ke kantor yang tidak terlalu jauh dari
tempat tinggalku, waktu tempuh cukup 30 menit dengan laju kendaraan
normal.
Namaku Tina. Aku anak
kedua dari empat bersaudara yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja namun
memiliki bapak yang luar biasa. Bapakku single parent dan membesarkan keempat
anaknya dengan penuh perjuangan. Pekerjaannya sebagai staf pegawai swasta bisa
memenuhi kebutuhan kami secukupnya. Aku belajar banyak dari bapak, yang
mendidik kami dengan cinta dan kemandirian. Setiap anak bapak harus bisa
mandiri sesegera mungkin setelah akhil baligh, tidak membedakan apakah
laki-laki atau perempuan. Bapak mengajariku untuk tidak menggantungkan hidup
pada orang lain. “Allohlah penguasa segala yang ada di langit dan bumi dan
menguasai hidup kalian. Maka setelah melakukan ikhtiar semaksimal mungkin yang
kita bisa, maka gantungnya hidup hanya kepada-Nya.” Pesan bapak yang tetap
kupegang teguh hingga kini ketika beliau sudah di surga.
Maka inilah aku,
sekarang dengan segala kemandirianku. Tidak memiliki semuanya, namun Alloh
selalu membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada ketika aku membutuhkannya. Yap,
semuanya kecuali satu yang hingga kini masih disimpanNya sebagai misteri, sosok
lelaki yang akan menjadi imam dalam hidupku.
Untuk yang satu itu, di
usia yang menginjak 32 tahun ini, membuatku tidak lagi ngoyo. Aku percaya
bahwa jika waktunya telah tiba, pangeran itu akan datang melengkapi
satu-satunya hal yang saat ini masih belum genap dalam diri, agamaku. Kapan itu? Biar Alloh saja yang tahu. Jika tidak di dunia ini, bukankah Alloh sudah menjanjikan jodoh untuk kita semua di surga?
Laju kendaraanku
berhenti pada sebuah gedung berkonsep semi alam. Ruang-ruang didesain tidak hanya
berupa ruangan kotak, termasuk ruang meeting yang banyak memiliki sentuhan alam. Hal ini membuatku betah
berlama-lama di kantor menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya masih jauh dari
deadline, meski jam kantor telah habis.
“Assalamu’alaikum Tin,” sapa lelaki paruh baya yang juga partner kerjaku beberapa saat setelah tiba di meja kerjaku.
"Waalaikumsalam. Kang Adi sehat? Mbak Andin dan anak-anak bagaimana? Wah cuti kemana saja kang, enak yang bisa refreshing.”
Kang Adi memang baru
saja masuk kerja kembali setelah mengambil cuti selama sepekan, bersamaan
dengan hari libur anak-anak setelah kenaikan kelas.
“Alhamdulillah Tin,
bisa refreshing di rumah dan mengajak anak-anak liburan ke Bromo. Lumayan lah,
bisa seger nih siap tancap gas lagi,” ujarnya.
Sebagai karyawan yang
berdedikasi tinggi, aku percaya itu. Kang Adi tidak pernah diragukan kinerjanya
dan bisa menempatkan sesuatu sempurna pada tempatnya. Empan papan. Begitu
kira-kira jika digambarkan dengan filosofi jawa.
“Alhamdulillah…ikut
senang ya kang,” ucapku seraya melempar senyum tipis yang dengan tiba-tiba
menyublim ketika mendengar pertanyaan selanjutnya.
“Trus…kamu kapan? Belum
datang tuh sang pangeran? Aku ada teman nih Tin, mau nggak tak kenalin. Dia
juga baru cari istri lho. Syaratnya yang cantik, mandiri, kuat, dan mapan. Kupikir
kamu masuk deh kriterianya. Segala kepribadian dia sudah punya. Rumah pribadi,
mobil pribadi, kantor pribadi pokoknya paket komplit deh. Mau ya kukenalin,” kata
Kang Adi yang tiba-tiba memberondongku dengan semangat empat lima.
Entah kenapa aku tidak
ingin menanggapinya. Apalagi di awal sempat mendengar sederet persyaratan yang
diajukan. Daripada dialog terus berkepanjangan pada aku tutup dengan senjata
pamungkas, tanpa memberikan jawaban. “Maaf kang, Tina mau dhuha dulu ya,”
kataku sambil berlalu menyisakan kekecewaaan.
Tidak hanya dari Kang
Adi. Tawaran-tawaran serupa juga sering datang dari berbagai jalur. Beberapa
kali mencoba menjalani prosesnya namun rahasia Alloh masih belum terungkap. Ada
saja yang menjadikannya gagal. Hingga pada satu titik aku akhirnya pasrah. Jika
Alloh menakdirkan jodohku, maka dia akan datang dengan segala kemudahan dan
tanpa syarat. Itu keyakinanku.
Waktu terus bergulir dan aktivitas kantor berjalan seperti biasa. Tawaran Kang Adi tidak sempat menyita fikiran karena sudah teralihkan
dengan bertumpuk kerjaan. Mengedit naskah untuk terbit
dalam tabloid bulanan kami bisa membuat lupa waktu. Beberapa memang harus aku
selesaikan hari ini supaya bisa segera masuk ke bagian lay out.
Jam di dinding menunjukkan pukul
5 sore ketika aku mulai merapikan berkas-berkas untuk bersiap pulang. Kalau aku tidak puasa, mungkin masih akan berlanjut merampungkan semua
naskah di meja, seperti biasanya. Di saat hening dalam kesendirian dan suasana kantor yang lenggang, tiba-tiba dikejutkan dengan sapaan security yang masuk ke
ruangan. “Mbak Tina, ada tamu yang mencari.”
Tamu di jam segini?
Siapa dan ada urusan apa bertamu di sore hari? “Siapa pak?” tanyaku heran.
“Saya juga tidak tahu
mbak, mereka bertiga menunggu di open space.” Open space adalah salah satu
sudut ruangan kantor yang didesain untuk santai, terbuka dan hijau. Biasanya
karyawan menggunakan tempat itu untuk membuka bekal makan siang atau mencari
inspirasi, termasuk juga menerima tamu-tamu tidak formal untuk ngobrol santai.
Karena penasaran tingkat dewa, aku bergegas menuju open
space. Langkah kaki ini agak melambat ketika dari kejauhan melihat seorang
laki-laki paruh baya, jejaka dan gadis kecil sedang sibuk menggelar tikar dan
menata bekal mereka. Sekilas aku mengenal sosok laki-laki itu. Meski tidak
mengenal dekat, aku tahu kiprahnya dari beberapa kegiatan yang kuikuti. Jika
ada hiburan nasyid atau seni drama yang tampil dalam sebuah acara, dia motor
penggeraknya. Namun dua anak yang bersamanya, baru pertama kali kulihat. Untuk
apa mereka sore-sore datang mencariku?
“Assalamu’alaikum..”
ragu kuucapkan salam.
“Waalaikumsalam, mbak
Tina. Mari bergabung sini, kita bawa bekal untuk buka puasa bersama,” jawabnya
dengan santai.
“Maaf…ini ada apa ya?” tanyaku.
“Silakan duduk dulu,
nanti akan saya jelaskan.” Tak lama setelah aku duduk dengan berjarak, mulailah dia mengungkapkan maksud kedatangannya bersama jejaka dan gadis kecil
yang ternyata adalah anaknya. Sepanjang Anto, laki-laki itu berbicara, kedua
anaknya hanya menyimak dan mendengarkan apa yang dikatakan ayahnya, seolah
memang sudah dikondisikan.
“Semua ini bukan proses
yang tiba-tiba. Saya sudah mencari informasi tentang mbak dan menghubungi ummi
untuk meminta ijin sebelum saya memutuskan untuk datang ke sini. Ummi adalah
guruku yang selama ini menemani proses menari separuh diriku. “Teruslah
memantaskan diri Tin supaya Alloh mengirimkan orang yang pantas bagimu.” Pesan itu
yang selalu kuingat untuk senantiasa tidak pernah menyerah dan semakin
mendekatkan diri pada Alloh.
Hampir selama 15 menit
dia menceritakan tentang dirinya yang selama 3 tahun ini berjuang sendiri
merawat buah hatinya setelah sang istri meninggal karena leukemia Tiba-tiba
saja ingatanku melayang pada bapak yang sangat kucintai dan kurinduka, yang
membesarkan keempat putranya setelah ibu harus berpulang ketika melahirkan
adikku. Dan tak pernah kutahu dari mana datangnya, rasa haru dan kehangatan itu
menyusup ke dalam hati. Hingga pada akhirnya dia mengungkapkan tujuannya datang
sore itu. “Jika Mbak Tina berkenan, maukah membangun rumah tangga bersama saya
dan anak-anak,” tanyanya singkat, jelas dan tanpa basa-basi.
Dia tahu, saya masih
ragu. Lalu kemudian dia berkata,”Setelah berkonsultasi, saya juga sudah meminta
ijin ummi. Mb Tina bisa bertanya ke ummi,” pintanya seolah tahu apa yang ada di
benakku.
Tanpa berpikir panjang,
aku segera mengaktifkan hp yang ada di genggaman dan menghubungi guruku. Bagaimana
pun, aku butuh seseorang yang bisa membantuku lebih memantapkan hati untuk mengambil
keputusan.
Begitu telpon
tersambung, kuucap salam namun belum sempat aku berkata apa-apa, ummi
langsung mengatakan satu kalimat. Tahu betul itulah yang aku butuhkan. “Ummi sudah
tahu semuanya. Bismillah…dia laki-laki yang baik dan sholih Tin. Maka tidak ada
alasan bagimu untuk menolaknya.”
Belum selesai aku
berkata, tiba-tiba tangan gadis mungil yang dari tadi hanya diam mendengarkan
ayahnya berbicara, dengan tersenyum manis meraih tanganku dan menciumnya.
Menyalurkan kehangatan yang tiba-tiba mengalir tanpa satupun kata yang terucap.
Hanya tatapan polosnya yang seolah berkata,”please…say yes i do.”
Maka kututup hari ini
dengan rasa syukur yang berlipat, dengan kemantapan hati yang belum pernah
kudapat. Ketika Alloh sudah menetapkan, semuanya akan terjadi dengan mudah.
Hanya satu ayat yang terlintas di penghujung puasa tarwiyahku. “Maka nikmat
Alloh mana yang kamu dustakan?”**End**
18 Juli 2021/8 Dzulhijah 1447 H
Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya
Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kanto...

-
Suatu pagi tiba-tiba seorang kakek-kakek yang berjalan melintas di depan rumah membelokkan langkahnya memasuki halaman rumah. Kami, aku da...
-
Bismillah... Masih di Bulan Mei, di mana banyak cerita berawal di bulan ini, rasa-rasanya ingin sekali menulis kisah tentang kita...
-
Bismillah... Ini sebuah kisah yang baru saja saya alami dan semoga saja tidak terjadi pada yang lainnya. Tapi sebelum kisah ini terjadi...