Minggu, 17 November 2024

Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya


    Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kantor baru. Masa jeda ini banyak dimanfaatkan mendekat pada yang dulu menjadi pilihan ke sekian.
     Jika dulu fokus pada tugas profesional, alhamdulillah saat jeda bisa lebih memberikan waktu dan perhatian pada keluarga dan masyarakat, termasuk menjadi lebih luang waktu untuk menjemput anak pulang dari sekolah.
   Waktu menjemput anak pulang sekolah memberikan pengalaman tersendiri dan memanggil kembali hobi lamaku, melakukan pengamatan. Senang rasanya bisa anak-anak dengan kekhasan dan keistimewaan masing-masing dan mengapati mereka adalah hal yang menarik. Berbagai aktivitas mereka lakukan, bersorak riang ketika dijemput hinggga masih heboh bermain dengan teman-temannya memanfaatkan waktu sampai penjemput membawanya pulang.
      Mengamati tingkah polah satu per satu dari ratusan anak yang beredar di sekitaran itu menarik. Mulai dari bentuk penciptaan yang berbeda, postur tubuh, pembawaan, sikap yang tentunya memiliki keistimewaan masing-masing. Jalan, lari, teriak, berkejaran, senda gurau dan banyak lagi tingkah mereka. Dari sini saja sudah takjub, betapa Alloh Maha Pencipta dan Maha Besar Alloh dengan segala ciptaanNya. 
    Asik saja mengamati mereka dengan keunikan masing-masing. Lalu fikiran ini mengembara, bagaimana ya mereka 10 tahun ke depan, atau 20 tahun ke depan ketika mereka sudah dewasa. Akan menjadi apa mereka saat itu. Ingatkah mereka di masa-masa sekarang, dengan segala tingkah lucunya. Sudahkah mereka menjadi orang seperti yang diharapkan orangtuanya ketika di sekolah ini. Menjadi shalih, pintar dan bisa menebar kemanfaatan?
Ah..menjadi apa kelak mereka? Rasa currious ini benar² tak bisa tertahan. Namun sesaat kemudian diri ini sadar, bukankah semua sudah digariskan olehNya dalam kitab yang menceritakan hikayat nyata seluruh manusia sesuai qodo dan qodarnya.
Lalu buat apa diri ini bertanya². Biarlah rahasia itu tetap tersimpan hingga Alloh mengungkapkan pada waktunya.
Dan biarkan kebiasaan mengamati itu tetap menjadi hal yang menyenangkan, menghabiskan waktu penjemputan.

Kisah emak² yang nongkrong di depan sekolah menunggu anak keluar.
 

Sabtu, 05 Oktober 2024

Puisi Muhasabah; Renungan Cinta dalam Ikatan



 Bismillah...

Dalam sebuah acara Seminar Keluarga Sakinah pada Ahad (29/9/2024), ada amanah yang diberikan, yaitu membuat dan membacakan puisi muhasabah. Maka dengan mengumpulkan dari berbagai sumber, disusunkan puisi ini dan dibacakan di depan 150an peserta yang hadir, sebagai sarana melakukan muhasabah pernikahan.

Ini dia puisi itu:

Renungan Cinta dalam Ikatan

 

Siang ini, di ujung hari yang hening,

Kita duduk bersisian, tanpa kata terucap,

Memandang jauh ke cakrawala kehidupan,

Di sana, cinta yang dulu kita ikrarkan,

masih setia bersemi.

 

Di awal kita melangkah,

Cinta begitu indah,

Janji-janji terucap di bawah langit biru,

Dengan hati yang penuh harap, kita menggenggam masa depan.

 

Namun waktu berjalan,

Seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir,

Ada gelombang yang kadang menghantam,

Ada arus tenang yang membawa kedamaian.

 

Memang tak selalu mudah langkah yang kita tempuh,

Tahun demi tahun berlalu,

Rambut mungkin mulai memutih,

Ada air mata yang tumpah, dan tawa yang pecah,

Namun dalam badai atau tenang,

Kita selalu kembali pada janji yang pernah kita genggam erat.

 

Pernikahan bukan sekadar tentang tawa,

Ia adalah perjalanan penuh makna,

Dengan tangis, lelah, dan rindu,

Di sela-sela kesibukan dan rutinitas waktu.

 

Suamiku,

Di setiap pelukan hangat, ada doa yang tak terucap,

Mengalir di antara jari-jari yang saling menggenggam,

Melintasi setiap hari yang kita rangkai Bersama, dalam suka dan duka

 

Istriku,

Di setiap langkah yang kita tempuh,

Ada kenangan yang terukir,

Tentang perjuangan bersama,

Tentang pengorbanan tanpa kata, tentang harapan yang terus menyala.

 

Hari-hari kita mungkin tak selalu sempurna,

Namun cinta ini bukan tentang kesempurnaan,

Tapi tentang kebersamaan yang kita rajut dengan ikhlas,

Dalam sabar, syukur, dan saling mengingatkan.

 

Mari kita muhasabah,

Bukan tentang siapa yang benar atau siapa yang salah

Tapi bagaimana kita bisa saling melengkapi dan menguatkan

Di setiap detik yang Allah titipkan

 

Kita belajar mencintai lebih dari sekadar rasa,

Mencintai dengan hati,

Mencintai dengan iman

 

Kembali kita ikrarkan bahwa pernikahan ini adalah ibadah,

Masih Panjang perjalanan yang harus kita tempuh,

Masih banyak cerita yang akan kita rangkai,

 

Semoga ikatan ini selalu diberkahi,

Di setiap musim yang datang silih berganti,

Hingga waktu memanggil kita pulang,

Dalam keabadian, Bersama, di surga yang Alloh janjikan.


Selamat membaca. Next, akan kubacakan puisi ini untuk muhasabah diri sendiri. Jika waktunya tiba

Senin, 12 Agustus 2024

Peluang Kebaikan Itu Akan Selalu Ada


 Bismillah

"Mbak Intan berhenti bekerja mendapat ladang kebaikan yang lain."

Kata-kata itu terucapkan dari Mb Weni, saudara se-RT yang sudah akrab denganku dan paling tahu tentangku (dibandingkan tetangga yang lain, hehe). Kami banyak bercerita tentang diri kita dengan nyaman dan aman. Menjaga amanah, insyaAlloh itu yang kami pegang.

Kalimat tersebut diucapkan ketika ada yang menanyakan keberadaanku membantu tetangga yang sedang kesripahan, sajak longgar. 

"Mb Intan nggak masuk kantor." 

Begitulah kekepoan beberapa tetangga yang sudah mengerti keseharianku. Maka dengan senyum kujawab bahwa aku tidak lagi bekerja. 

Meski ditanggapi dengan semakin ingin tahunya mereka tentang alasan diri ini mengapa dan mau kemana setelah berhenti kerja. Kujawab singkat, "Saya ingin lebih bermasyarakat bersama ibu2." 

Dan niat itu diijabah oleh Alloh, bahkan di Senin pertama aku tidak bekerja. Sebuah kejadian yang membuatku bersyukur bisa membantu dan memberikan kemanfaatan bagi sekitar, yang pastinya tidak akan bisa  kulakukan ketika masih bekerja.

Senin pagi tadi Alloh menunjukkan kehendakNya. Ketika pagi-pagi, Mb Mini (yang bisa membantu di rumah) cerita sepintas bahwa ibu yang rumahnya dipakai untuk senam jatuh dan tidak sadarkan diri. Aku langsung menangkap itu adalah Bu Tino, salah satu sesepuh di lingkunganku.

"Trus pripun kondisinipun mbak (bagaimana kondisinya mbak)," tanyaku.

"Mboten ngertos bu, lha mbake ingkang mbantu ting mriku njih bingung. Wau nyobi menghubungi putranipun (tidak tahu bu, tadi pembantunya bingung. Mencoba menghubungi putranya)," jawab Mb Mini.

Sesaat kemudian (di sinilah kehendak Alloh terjadi) saya punya keinginan untuk melihat kondisi Bu Tino, maka bergegas saya meluncur ke ndalem beliau. Diikuti pandangan heran suami yang kupamiti dengan sepintas.

Betul juga, sampai di sana aku melihat mbaknya sedang bingung. Di samping Bu Tino berbaring ada suami beliau Pak Tino duduk termangu. ketika kutanya kondisi Bu Tino, singkat beliau menjawab, "Mpun mboten wonten mbak (sudah meninggal mbak)."

Melihat kondisi tersebut, segera kutelpon Mb Weni dan Bu Broto, tetangga yang dekat dengan Bu Tino seraya mencari dokter yang bisa memastikan kondisi Bu Tino secara medis. Kebetulan beberapa teman dokter yang ditelpon tidak bisa, hingga akhirnya aku dan Mb Weni ke Pustu Karangasem untuk meminta tolong dokter di sana.

Alhamdulillah ada tenaga kesehatan di Pustu Karangasem yang sigap membantu. Setelah mengecek kondisi Bu Tino dengan cermat, dr Imam (tenaga kesehatan dari Pustu Karangasem) dengan pelan berucap, "Innalillahi wa inna ilaihi roojiun." 

Mulai dari situlah kucoba membantu apapun yang kubisa, meringankan keluarga yang sedang berduka. Selama ini, kalau ada yang kesripahan aku paling hanya datang untuk takziah. Namun pagi ini, Alloh memberikan kesempatan untuk memberikan kemanfaatan yang lebih. 

Alhamdulillah, apa yang kualami pagi ini membuatku merasa lebih bahagia, melebihi waktu-waktu sebelumnya. Sungguh kurasakan betapa Alloh menuntunku memasuki begitu luasnya ladang kebaikan.

Begitu takjub dengan firman-Nya, "Dan siapa yang mengerjakan kebaikan, akan Kami tambahkan kebaikan baginya." [QS Asy syura;23]. Biidznillah...

Turut berduka sedalam-dalamnya atas sedonya BuTino. Aku bersaksi beliau adalah piyantun yang baik. Sesepuh di lingkungan yang sangat bersemangat, menjadi teladan kebaikan. Darinya kudapatkan motivasi dan energi ketika mendapat amanah di lingkungan. 

Beliau yang merelakan seragam dan pin PKKnya kupinjam ketika aku belum memiliki sendiri namun harus menghadiri acara di Balaikota mengenakan seragam.

Bahkan ketika aku berniat mengembalikannya, beliau menolak. "Nggak usah dikembalikan, dipakai Mbak Intan saja. Semangat ya mbak," ujarnya.

Hingga sekarang, seragam dan pin itu masih sering kupakai menghadiri berbagai acara PKK. Menjadi saksi mulianya hati ibu. Istirahat tenang di sisi Alloh njih. Alloh lebih mencintai Bu Tino.

Bulakindah, 12 Agustus 2024




Kamis, 19 Oktober 2023

Ada kemauan ada jalan. Tak ada kemauan (pasti) banyak alasan

 


Bismillah

Setelah sekian lama terjeda, kembali merangkai kata demi kata dalam blog perjalanan cahaya. Ada kalanya memang memerlukan trigger untuk memulai kembali. Menuangkan ide, merangkumnya hingga menyelesaikan cerita dan menekan tombol publikasikan. Rasanya, rangkaian proses itu beberapa waktu ini sulit untuk tuntas.

Sebenarnya bukannya total berhenti untuk menulis di blog. Bertimbun tulisan hanya mengendap di draft dan tidak tertuntaskan dan berbagai deretan tema yang terlintas dalam benak hanya masuk dalam list note kecil yang selalu ditenteng kemanapun. Lalu mengapa lama nggak update tuh blog?

Tak ingin mencari apologi yang akhirnya hanya membuka peluang pemakluman untuk diri sendiri. Ah…gapapa in, khan kamu sibuk; Gapapa belum update blog, khan kamu capek; Kayaknya update blog itu prioritas ke sekian deh, mending focus selesaikan dulu agenda lain yang lebih penting…

Kadang alasan-alasan itu yang ada di fikiran sehingga menjadi justifikasi bagi diri sendiri dan hasilnya, kasihan tuh blog jarang sekali terjamah.

Maka mengikuti challange ini membuat kembali termotivasi untuk melakukan muhasabah dan menghisab diri. “Intan, kamu sudah memulainya, lalu mengapa tidak konsisten,” kataku pada diri sendiri.

Yes, maka satu clue utama yang menjadi penyebab lama tidak update blog adakan tidak konsisten. Tidak konsisten dengan apa yang sudah dimulai, tidak konsisten menuntaskannya.

Konsisten itu memang satu kata yang mudah diucapkan dan dituliskan namun sulit untuk dijalankan. Apalagi dengan berbagai macam alasan yang ada dan bisa diciptakan.

Memang ya, alasan memang gampang untuk diciptakan. Mau berapa alasan yang dibutuhkan? Satu, sepuluh, seratus bahkan seribu asalan bisa dibuat dengan harapan akan ada pemakluman.

Namun aku tak ingin ada pemakluman yang terlalu untuk diri sendiri karena itu akan membuat semakin melemah. Jadi teringat kata ustad dalam sebuah forum mengkaji hikmah dari Perang Tabuk. “Ada kemauan ada jalan. Tak ada kemauan (pasti) banyak alasan.” Maka rentetan selanjutnya dari konsisten adalah kemauan.

Jadi intinya, jika ada kemauan maka kamu tidak akan membutuhkan satu pun alasan karena pasti akan ditemukan jalan.

Termasuk dalam hal konsisten. Untuk menjaga kontinuitas sebuah konsistensi maka faktor utama yang harus terus dijaga adalah selalu terus memelihara kemauan itu tetap ada.

That’s all. Yuk Intan, dijaga kemauannya. Ingat mimpi besar yang ingin kau wujudkan dengan membuat blog. Maka jangan banyak alasan, atur rhitmenya saja dan terus berposes. Tuntaskan apa yang sudah diawali hingga sampai pada titik akhir. Finish.

Minggu, 18 Juli 2021

Kupinang Engkau dengan Tarwiyah



Hari ini, 8 Dzulhijah, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menjalani aktivitas rutin yang dijanjikan Alloh mendatangkan keuntungan berlipat-lipat. Aku pun meyakininya akan mendapatkan apa yang telah Alloh janjikan, bahkan lebih besar dari itu. Maka bagiku, puasa tarwiyah adalah candu yang menarikku untuk terus menjalaninya, di tengah penantian panjang yang tak kunjung terlihat hilal di usiaku yang sudah menginjak kepala 3.

Awalnya tidak ada yang istimewa, bakda sahur dan sholat subuh aktivitas pagi berjalan normal. Setelah membereskan rutinitas di rumah yang sudah kutinggali sejak 6 tahun yang lalu seorang diri, lanjut bersiap-siap ke kantor yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku, waktu tempuh cukup 30 menit dengan laju kendaraan normal.

Namaku Tina. Aku anak kedua dari empat bersaudara yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja namun memiliki bapak yang luar biasa. Bapakku single parent dan membesarkan keempat anaknya dengan penuh perjuangan. Pekerjaannya sebagai staf pegawai swasta bisa memenuhi kebutuhan kami secukupnya. Aku belajar banyak dari bapak, yang mendidik kami dengan cinta dan kemandirian. Setiap anak bapak harus bisa mandiri sesegera mungkin setelah akhil baligh, tidak membedakan apakah laki-laki atau perempuan. Bapak mengajariku untuk tidak menggantungkan hidup pada orang lain. “Allohlah penguasa segala yang ada di langit dan bumi dan menguasai hidup kalian. Maka setelah melakukan ikhtiar semaksimal mungkin yang kita bisa, maka gantungnya hidup hanya kepada-Nya.” Pesan bapak yang tetap kupegang teguh hingga kini ketika beliau sudah di surga.

Maka inilah aku, sekarang dengan segala kemandirianku. Tidak memiliki semuanya, namun Alloh selalu membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada ketika aku membutuhkannya. Yap, semuanya kecuali satu yang hingga kini masih disimpanNya sebagai misteri, sosok lelaki yang akan menjadi imam dalam hidupku.

Untuk yang satu itu, di usia yang menginjak 32 tahun ini, membuatku tidak lagi ngoyo. Aku percaya bahwa jika waktunya telah tiba, pangeran itu akan datang melengkapi satu-satunya hal  yang saat ini masih belum genap dalam diri, agamaku. Kapan itu? Biar Alloh saja yang tahu. Jika tidak di dunia ini, bukankah Alloh sudah menjanjikan jodoh untuk kita semua di surga?

Laju kendaraanku berhenti pada sebuah gedung berkonsep semi alam. Ruang-ruang didesain tidak hanya berupa ruangan kotak, termasuk ruang meeting yang banyak memiliki sentuhan alam. Hal ini membuatku betah berlama-lama di kantor menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya masih jauh dari deadline, meski jam kantor telah habis.

“Assalamu’alaikum Tin,” sapa lelaki paruh baya yang juga partner kerjaku beberapa saat setelah tiba di meja kerjaku. 

"Waalaikumsalam. Kang Adi sehat? Mbak Andin dan anak-anak bagaimana? Wah cuti kemana saja kang, enak yang bisa refreshing.”

Kang Adi memang baru saja masuk kerja kembali setelah mengambil cuti selama sepekan, bersamaan dengan hari libur anak-anak setelah kenaikan kelas.

“Alhamdulillah Tin, bisa refreshing di rumah dan mengajak anak-anak liburan ke Bromo. Lumayan lah, bisa seger nih siap tancap gas lagi,” ujarnya.

Sebagai karyawan yang berdedikasi tinggi, aku percaya itu. Kang Adi tidak pernah diragukan kinerjanya dan bisa menempatkan sesuatu sempurna pada tempatnya. Empan papan. Begitu kira-kira jika digambarkan dengan filosofi jawa.

“Alhamdulillah…ikut senang ya kang,” ucapku seraya melempar senyum tipis yang dengan tiba-tiba menyublim ketika mendengar pertanyaan selanjutnya.

“Trus…kamu kapan? Belum datang tuh sang pangeran? Aku ada teman nih Tin, mau nggak tak kenalin. Dia juga baru cari istri lho. Syaratnya yang cantik, mandiri, kuat, dan mapan. Kupikir kamu masuk deh kriterianya. Segala kepribadian dia sudah punya. Rumah pribadi, mobil pribadi, kantor pribadi pokoknya paket komplit deh. Mau ya kukenalin,” kata Kang Adi yang tiba-tiba memberondongku dengan semangat empat lima.

Entah kenapa aku tidak ingin menanggapinya. Apalagi di awal sempat mendengar sederet persyaratan yang diajukan. Daripada dialog terus berkepanjangan pada aku tutup dengan senjata pamungkas, tanpa memberikan jawaban. “Maaf kang, Tina mau dhuha dulu ya,” kataku sambil berlalu menyisakan kekecewaaan.

Tidak hanya dari Kang Adi. Tawaran-tawaran serupa juga sering datang dari berbagai jalur. Beberapa kali mencoba menjalani prosesnya namun rahasia Alloh masih belum terungkap. Ada saja yang menjadikannya gagal. Hingga pada satu titik aku akhirnya pasrah. Jika Alloh menakdirkan jodohku, maka dia akan datang dengan segala kemudahan dan tanpa syarat. Itu keyakinanku.

Waktu terus bergulir dan aktivitas kantor berjalan seperti biasa. Tawaran Kang Adi tidak sempat menyita fikiran karena sudah teralihkan dengan bertumpuk kerjaan. Mengedit naskah untuk terbit dalam tabloid bulanan kami bisa membuat lupa waktu. Beberapa memang harus aku selesaikan hari ini supaya bisa segera masuk ke bagian lay out.

Jam di dinding menunjukkan pukul 5 sore ketika aku mulai merapikan berkas-berkas untuk bersiap pulang. Kalau aku tidak puasa, mungkin masih akan berlanjut merampungkan semua naskah di meja, seperti biasanya. Di saat hening dalam kesendirian dan suasana kantor yang lenggang, tiba-tiba dikejutkan dengan sapaan security yang masuk ke ruangan. “Mbak Tina, ada tamu yang mencari.”

Tamu di jam segini? Siapa dan ada urusan apa bertamu di sore hari? “Siapa pak?” tanyaku heran.

“Saya juga tidak tahu mbak, mereka bertiga menunggu di open space.” Open space adalah salah satu sudut ruangan kantor yang didesain untuk santai, terbuka dan hijau. Biasanya karyawan menggunakan tempat itu untuk membuka bekal makan siang atau mencari inspirasi, termasuk juga menerima tamu-tamu tidak formal untuk ngobrol santai.

Karena penasaran tingkat dewa, aku bergegas menuju open space. Langkah kaki ini agak melambat ketika dari kejauhan melihat seorang laki-laki paruh baya, jejaka dan gadis kecil sedang sibuk menggelar tikar dan menata bekal mereka. Sekilas aku mengenal sosok laki-laki itu. Meski tidak mengenal dekat, aku tahu kiprahnya dari beberapa kegiatan yang kuikuti. Jika ada hiburan nasyid atau seni drama yang tampil dalam sebuah acara, dia motor penggeraknya. Namun dua anak yang bersamanya, baru pertama kali kulihat. Untuk apa mereka sore-sore datang mencariku?

“Assalamu’alaikum..” ragu kuucapkan salam.

“Waalaikumsalam, mbak Tina. Mari bergabung sini, kita bawa bekal untuk buka puasa bersama,” jawabnya dengan santai.

“Maaf…ini ada apa ya?” tanyaku.

“Silakan duduk dulu, nanti akan saya jelaskan.” Tak lama setelah aku duduk dengan berjarak, mulailah dia mengungkapkan maksud kedatangannya bersama jejaka dan gadis kecil yang ternyata adalah anaknya. Sepanjang Anto, laki-laki itu berbicara, kedua anaknya hanya menyimak dan mendengarkan apa yang dikatakan ayahnya, seolah memang sudah dikondisikan.

“Semua ini bukan proses yang tiba-tiba. Saya sudah mencari informasi tentang mbak dan menghubungi ummi untuk meminta ijin sebelum saya memutuskan untuk datang ke sini. Ummi adalah guruku yang selama ini menemani proses menari separuh diriku. “Teruslah memantaskan diri Tin supaya Alloh mengirimkan orang yang pantas bagimu.” Pesan itu yang selalu kuingat untuk senantiasa tidak pernah menyerah dan semakin mendekatkan diri pada Alloh.

Hampir selama 15 menit dia menceritakan tentang dirinya yang selama 3 tahun ini berjuang sendiri merawat buah hatinya setelah sang istri meninggal karena leukemia Tiba-tiba saja ingatanku melayang pada bapak yang sangat kucintai dan kurinduka, yang membesarkan keempat putranya setelah ibu harus berpulang ketika melahirkan adikku. Dan tak pernah kutahu dari mana datangnya, rasa haru dan kehangatan itu menyusup ke dalam hati. Hingga pada akhirnya dia mengungkapkan tujuannya datang sore itu. “Jika Mbak Tina berkenan, maukah membangun rumah tangga bersama saya dan anak-anak,” tanyanya singkat, jelas dan tanpa basa-basi.

Dia tahu, saya masih ragu. Lalu kemudian dia berkata,”Setelah berkonsultasi, saya juga sudah meminta ijin ummi. Mb Tina bisa bertanya ke ummi,” pintanya seolah tahu apa yang ada di benakku.

Tanpa berpikir panjang, aku segera mengaktifkan hp yang ada di genggaman dan menghubungi guruku. Bagaimana pun, aku butuh seseorang yang bisa membantuku lebih memantapkan hati untuk mengambil keputusan.

Begitu telpon tersambung, kuucap salam namun belum sempat aku berkata apa-apa, ummi langsung mengatakan satu kalimat. Tahu betul itulah yang aku butuhkan. “Ummi sudah tahu semuanya. Bismillah…dia laki-laki yang baik dan sholih Tin. Maka tidak ada alasan bagimu untuk menolaknya.”

Belum selesai aku berkata, tiba-tiba tangan gadis mungil yang dari tadi hanya diam mendengarkan ayahnya berbicara, dengan tersenyum manis meraih tanganku dan menciumnya. Menyalurkan kehangatan yang tiba-tiba mengalir tanpa satupun kata yang terucap. Hanya tatapan polosnya yang seolah berkata,”please…say yes i do.”

Maka kututup hari ini dengan rasa syukur yang berlipat, dengan kemantapan hati yang belum pernah kudapat. Ketika Alloh sudah menetapkan, semuanya akan terjadi dengan mudah. Hanya satu ayat yang terlintas di penghujung puasa tarwiyahku. “Maka nikmat Alloh mana yang kamu dustakan?”**End**

18 Juli 2021/8 Dzulhijah 1447 H

Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya

     Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kanto...