Bismillah...
Masih segar dalam ingatan aksi damai yang dilakukan ummat Islam pada 212 di Monas. Ketika membaca postingan teman-teman yang bergabung dalam aksi itu, terasa sangat gelora dan semangat yang luar biasa. Misi mereka HANYA satu, tidak ada yang lain, yaitu membela Kitab Suci yang telah dinistakan dan dikatakan sebagai sebuah kebohongan. Al Quran adalah dari Alloh SWT yang selalu terjaga kebenaran dan kesuciannya, siapapun kita, rasanya tidak akan setuju jika kitab yang menjadi tuntutan hidup kita dikatakan sebagai sebuah kebohongan atau digunakan untuk alat membohongi. Jika suatu benda digunakan sebagai alat untuk membohongi, maka pastilah dianggap benda itu tidak benar atau tidak baik bukan? Lalu apakah kita akan tinggal diam jika sesuatu yangdianggap tidak baik itu adalah Al Quran? Relakah kita jika Kitab Suci dihinakan?
Rasa itulah yang menggelora di hati jutaan insan yang berkumpul di sekitar Monas saat itu. Rela melakukan pengorbanan untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada Al Quran. Lalu kita? Apa yang kita lakukan? Boro2 ikut membela, membacanya (Al Quran) saja hanya berkala kita lakukan. Kala2 iya, lebih banyak tidak, maka wajarlah jika kita sulit untuk merasakan semangat dan gelora kecintaan yang demikian besar. Bahkan ada dari kita yang sibuk bersuudzon bahkan memaki aksi damai tersebut atau efek yang ditimbulkannya (jalan ruwetlah, macet lah, dll). Tidak bisa menangkap agenda besar yang diperjuangkan dalam aksi itu, membela Al Quran, membela Islam. Sebuah perjalanan untuk membela Kitab Suci.
Dan aku, hanya sesekali merinding menyaksikan melalui media yang ada, termasuk membaca tulisan dari salah seorang yang tidak sengaja menyaksikan aksi damai ini :
Catatan Dr. Iswandi Syahputra (Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)......bagus ðŸ˜
Ada istilah baru “nyinyiers
Demi Allah... baru kali ini saya melihat aksi demo hingga menangis. Saya tidak kuat menahan rasa haru, bahagia, bangga, gembira, dan sedikit amarah semua berbaur menjadi satu.
Awalnya saya ke Jakarta untuk wawancara narasumber riset saya. Tapi sebuah penerbit juga mengusulkan saya menulis buku tentang aksi 411 dan 212, lebih kurang membahas 'Media Sosial dan Aksi Damai 411/212'. Karena kebetulan itu, saya bergerak hadir ke Monas pusat lokasi aksi 212.
Sambil menangis tersedu melihat aksi 212 saya telpon isteri untuk mengabarkan situasinya. Luar biasa, persatuan, kesatuan, kekompakan, persaudaraan, silaturrahmi umat Islam demikian nyata.
Pukul 07.00 WIB saya bergerak dari Cikini menuju Monas, ojeg yang saya tumpangi harus muter mencari jalan tikus. Semua jalan dan lorong mengarak ke Monas macet total. Perjalanan saya terhenti di Kwitang, dari Kwitang saya jalan kaki menuju Monas, hingga ke perempatan Sarinah. Saat sampai di Tugu Tani, dada saya mulai bergetar tak karuan. Seperti orang takjub tidak terkira. Umat Islam yang hadir saling mengingatkan untuk hati-hati, jangan injak taman, buang sampah pada tempatnya, segala jenis makanan sepanjang jalan gratis. Tidak ada caci maki seperti yang terjadi di sosial media. Saat itu sudah mulai perasaan berkecamuk, tapi masih bisa saya tahan.
Tepat di depan Kedubes AS, dada saya meledak menangis haru saat seorang kakek renta menawarkan saya buah Salak, gratis. Saya tanya, "Ini salak dari mana Kek?" "Saya beli sendiri dari tabungan", jawabnya. Saya hanya bisa terdiam dan terpaku menatapnya.
Di sebelahnya, ada juga seorang Ibu tua juga menawarkan makanan gratis yang dibungkus. Sepertinya mie atau nasi uduk. Bayangkan, Ibu itu pasti bangun lebih pagi untuk memasak makanan itu. Saya tanya, "Ini makanan Ibu masak sendiri?" "Iya," jawabnya. "Saya biasa jualan sarapan di Matraman, hari ini libur. Masakan saya gratis untuk peserta aksi". Masya Allah... Saya langsung lemes, mes, messss... Saya semakin lemes sebab obrolan kami disertai suara sayup orang berorasi dan gema suara takbir.
Da., sepanjang jalan yang saya lalui, saya menemukan semua keajaiban Aksi Super Damai 212. Pijat gratis, obat gratis, klinik gratis, makan dan minum gratis. Perasaan lain yang bikin saya merinding, tidak ada jarak dan batas antara umat Islam yang selama ini kena stigma sosial buatan mereka para nyinyiers dan haters sebagai 'Islam Jenggot', 'Islam Celana Komprang', 'Islam Kening Hitam', 'Islam Cadar', 'Islam Berjubah' dan stigma negatif lainnya. Semuanya bersatu dalam: Satu Islam, Satu Indonesia, dan Satu Manusia!
Sepanjang perjalanan, saya mendengar antara peserta bicara menggunakan bahasa daerah Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh, Minang bahkan ada juga yang berbahasa Tionghoa. Mungkin mereka saudara kita dari kalangan non muslim.
Melihat itu semua, 'saya menyerah', lagi-lagi saya menyerah!
Saya tidak kuasa menahan gejolak rasa yang bergemuruh dalam dada. Saya putuskan menepi, mencari kafe sekitar lokasi. Kebetelun saya punya sahabat baik yang pengelola "Sere Manis Resto dan Cafe". Lokasinya strategis, pas di pojok Jl. Sabang dan Jl. Kebon Sirih. Tidak jauh dari bunderan BI dan Monas. Saya putuskan menyendiri masuk cafe itu untuk memesan secangkir kopi dan menyaksikan semua peristiwa dari layar TV dan Gadget yang terkadang diacak timbul tenggelam kekuatan sinyalnya.
Tapi di Resto/Cafe 'Sere Manis' itu juga saya temui umat Islam berkumpul membludak. Rupanya mereka antri mau mengambil wudhu yang disiapkan pengelola restoran. Tidak cuma itu, saya menemukan ketakjuban lain. Di dalam resto/cafe saya bertemu teman baru, seorang Scooter yang tinggal di daerah Cinere. Dia dan teman-temannya memilih berjalan kaki dari Cinere ke Monas (sekitar 40 KM) untuk merasakan kebahagiaan para santri yang berjalan dari Ciamis ke Jakarta. Masya Allah.... Saya semakin sangat kecil rasanya dibanding mereka semua. Ini kisah dan kesaksian saya tentang Aksi Super Damai 212. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang seperti saya yang tidak terhitung atau tidak masuk dalam gambar aksi yang beredar luas. Kami orang yang lemah, tidak sekuat saudara kami yang berjalan kaki di Ciamis atau Cinere.
Maka, janganlah lagi menghina aksi ini. Apalagi jika hinaan itu keluar dari kepala seorang muslim terdidik. Tidak menjadi mulia dan terhormat Anda menghina aksi ini. Terbuat dari apa otak dan hati Anda hingga sangat ringan menghina aksi ini? Atau, apakah karena Anda mendapat beasiswa atau dana riset dari pihak tertentu kemudian dengan mudah menghina aksi ini?
Jika tidak setuju, cukuplah diam, kritik yang baik, atau curhatlah ke isteri Anda berdua. Jangan menyebar kebencian di ruang publik. Walau menyebar kebencian, saya tau kalian tidak mungkin dilaporkan umat Islam. Sebab umat Islam tau persis kemana hukum berpihak saat ini.
Terlepas ada kebencian dari para ‘nyinyiers’, saya bahagia bisa tidak sengaja ikut aksi damai 212 ini. Setidaknya saya bisa menularkan kisah dan semangat ini pada anak cucu saya sambil berkata: "Nak, saat kau bertanya ada dimana posisi Bapak saat aksi damai 2 Desember 2016? Bapak cuma buih dalam gelombang lautan umat Islam saat itu. Walau cuma buih, Bapak jelas ada pada posisi membela keimanan, keyakinan dan kesucian agama Islam. Jangan ragu dan takut untuk berpihak pada kebenaran yang kau yakini benar. Beriman itu harus dengan ilmu. Orang berilmu itu harus lebih berani. Dan mereka yang hadir atau mendukung aksi 212 adalah mereka yang beriman, berilmu dan berani. Maka jadilah kau mukmin yang berilmu dan pemberani anakku".
DR Iswandi Syahputra
[Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta]
Tidak ada kata lain yang ingin kutuliskan dalam posting kali ini selain sebait doa: "Semoga Islam, agama yang menyelamatkan, bisa menjadi penyelamat seluruh ummat manusia. Dan semoga kita semua semakin dijaga keimanan kita, termotivasi untuk terus menambah amalan ibadah kita termasuk membaca Al Quran supaya kecintaan pada kitab suci bisa tumbuh pada diri kita, pada diriku dan dirimu. Iya....KAMU." (end)