Merancang cita-cita


Malam itu, ritual sebelum tidur, aku elus rambutnya yang halus. Kakak dan adiknya sudah terbuai oleh malam sedangkan dia belum juga bisa memejamkan matanya. Seperti biasanya, ketika matanya sulit dipejamkan, dia memintaku untuk mengelus rambutnya hingga dia terlelap. Dan saat itu adalah salah satu moment romantis antara ibu dan anak gadisnya.
Lalu kulontarkan pertanyaan kepadanya, "Mbak Khilya besok gede cita-citanya jadi apa?"
Dan sebagaimana kebanyakan anak (termasuk juga aku waktu kecil), dengan singkat dia menjawab, "Mau jadi dokter."
Belum sempat aku lontarkan pertanyaan berikutnya, gantian dia yang menginterogasiku. "Kalau Ummi waktu kecil cita-citanya menjadi apa?"
Sekejap aku bingung menjawab. Mustikah aku berikan jawaban yang sama dengannya? Tapi ego ini bermain, kenapa aku tidak bisa mewujudkan cita-cita sewaktu kecilku? Lalu kujawab sekenanya, "Pengen jadi umminya mbak khilya," jawabku sambil memandang matanya yang polos.
Merasa jawabanku tidak memuaskan, dia protes. "Maksudku bukan yang itu. Ummi itu ingin jadi apa waktu kecil?" kejarnya. Mungkin dibenaknya dia beranggapan bahwa menjadi ummi adalah kodrat yang musti dijalani sebagai perempuan. Tanpa menjadikannya cita-citapun pasti kejadian.
Lalu kupikirkan alternatif jawaban yang lain. "Ummi pengen jadi daiyah," kataku singkat.
Namun jawabanku ini pun belum bisa memuaskannya. "Bukan itu maksudku," katanya lagi dengan nada meninggi. Memang jika disadari, menjadi daiyah dan berdakwah bukanlah cita-cita, melainkan tanggung jawab yang harus kita emban sebagai pertanggung jawaban kepada-Nya yang telah menunjuk manusia sebagai khalifah di bumi. Dan bagi khilya, itupun bukan cita-cita.
Tidak mau terus mengecewakannya, dengan jujur aku jawab cita-cita sewaktu masa kecilnya. "Ya udah, cita-cita ummi waktu kecil sama kayak mbak khilya, jadi dokter," jawabku. Malu sebenarnya mengakuinya.
"Tapi kok sekarang tidak menjadi dokter?" kejarnya. Nah lho, pertanyaan yang kukhawatirkan akan keluar dari lisannya ternyata tak bisa terelakkan.
"Karena ummi sekolahnya tidak disekolah dokter, jadi sekarang tidak menjadi dokter," jawabku mencoba membahasakan bahwa ummimu dulu nggak bisa nembus pilihan pertama waktu UMPTN nak, yaitu Fak Kedokteran. Lolosnya hanya di pilihan kedua, Ilmu Komunikasi yang sampai saat ini ilmunya masih kuakrabi. Meski sebenarnya pilihan kedokteran lebih besar karena keinginan ortu waktu itu.
Alhamdulillah dia puas dengan jawabanku. Tapi tahu umminya tidak bisa mencapai cita-citanya, maka dia berinisiatif untuk merancang cita-cita untukku. Katanya,"Kalau begitu sekarang ummi kubuatkan cita-cita ya. Bagaimana kalau sekarang cita-cita ummi menjadi pemadam kebakaran," katanya berdiplomasi.
Tak urung aku dibuatnya geli mendengar tawarannya. "Kenapa menjadi pemadam kebakaran?" tanyaku.
"Iya mi, menjadi pemadam kebakaran kan hebat. Pegang pipa air yang besaaaar, terus dipancurkan untuk memadamkan api," dalihnya. Mungkin dibenaknya fireman is a hero sehingga layak dijadikan cita-cita.
Melihatku terdiam dia pun kembali bertanya, "Bagaimana mi dengan cita-cita yang kubuat untuk ummi, bagus kan?"
Tak mau mengecewakan aku angukkan kepala sambil memeluknya. "Iya deh. Dah sekarang mbak khilya bobo," kataku.
Dan dia pun memejamkan matanya. Mungkin seraya membayangkan Umminya bergaya seperti pemadam kebakaran sedang mencoba memadamkan api yang berkobar. Mungkin dengan demikian dia beranggapan, "Ummiku hebat."
Baiklah nak, hal itu menjadikan Ummi berterima kasih karena kau mengingatkan bahwa menjadi orang hebat (bermanfaat bagi orang lain) adalah sebuah kebanggaan. Terima kasih telah kau rancangkan cita-cita untuk ummimu dan semoga cita-citamu kelak bisa terwujud.
Dengarkan doa hamba-Mu Ya Allah karena Kaulah satu-satunya tempat bergantung. 

Komentar

Postingan Populer