Kupinang Engkau dengan Tarwiyah



Hari ini, 8 Dzulhijah, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menjalani aktivitas rutin yang dijanjikan Alloh mendatangkan keuntungan berlipat-lipat. Aku pun meyakininya akan mendapatkan apa yang telah Alloh janjikan, bahkan lebih besar dari itu. Maka bagiku, puasa tarwiyah adalah candu yang menarikku untuk terus menjalaninya, di tengah penantian panjang yang tak kunjung terlihat hilal di usiaku yang sudah menginjak kepala 3.

Awalnya tidak ada yang istimewa, bakda sahur dan sholat subuh aktivitas pagi berjalan normal. Setelah membereskan rutinitas di rumah yang sudah kutinggali sejak 6 tahun yang lalu seorang diri, lanjut bersiap-siap ke kantor yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggalku, waktu tempuh cukup 30 menit dengan laju kendaraan normal.

Namaku Tina. Aku anak kedua dari empat bersaudara yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja namun memiliki bapak yang luar biasa. Bapakku single parent dan membesarkan keempat anaknya dengan penuh perjuangan. Pekerjaannya sebagai staf pegawai swasta bisa memenuhi kebutuhan kami secukupnya. Aku belajar banyak dari bapak, yang mendidik kami dengan cinta dan kemandirian. Setiap anak bapak harus bisa mandiri sesegera mungkin setelah akhil baligh, tidak membedakan apakah laki-laki atau perempuan. Bapak mengajariku untuk tidak menggantungkan hidup pada orang lain. “Allohlah penguasa segala yang ada di langit dan bumi dan menguasai hidup kalian. Maka setelah melakukan ikhtiar semaksimal mungkin yang kita bisa, maka gantungnya hidup hanya kepada-Nya.” Pesan bapak yang tetap kupegang teguh hingga kini ketika beliau sudah di surga.

Maka inilah aku, sekarang dengan segala kemandirianku. Tidak memiliki semuanya, namun Alloh selalu membuat sesuatu yang tidak ada menjadi ada ketika aku membutuhkannya. Yap, semuanya kecuali satu yang hingga kini masih disimpanNya sebagai misteri, sosok lelaki yang akan menjadi imam dalam hidupku.

Untuk yang satu itu, di usia yang menginjak 32 tahun ini, membuatku tidak lagi ngoyo. Aku percaya bahwa jika waktunya telah tiba, pangeran itu akan datang melengkapi satu-satunya hal  yang saat ini masih belum genap dalam diri, agamaku. Kapan itu? Biar Alloh saja yang tahu. Jika tidak di dunia ini, bukankah Alloh sudah menjanjikan jodoh untuk kita semua di surga?

Laju kendaraanku berhenti pada sebuah gedung berkonsep semi alam. Ruang-ruang didesain tidak hanya berupa ruangan kotak, termasuk ruang meeting yang banyak memiliki sentuhan alam. Hal ini membuatku betah berlama-lama di kantor menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya masih jauh dari deadline, meski jam kantor telah habis.

“Assalamu’alaikum Tin,” sapa lelaki paruh baya yang juga partner kerjaku beberapa saat setelah tiba di meja kerjaku. 

"Waalaikumsalam. Kang Adi sehat? Mbak Andin dan anak-anak bagaimana? Wah cuti kemana saja kang, enak yang bisa refreshing.”

Kang Adi memang baru saja masuk kerja kembali setelah mengambil cuti selama sepekan, bersamaan dengan hari libur anak-anak setelah kenaikan kelas.

“Alhamdulillah Tin, bisa refreshing di rumah dan mengajak anak-anak liburan ke Bromo. Lumayan lah, bisa seger nih siap tancap gas lagi,” ujarnya.

Sebagai karyawan yang berdedikasi tinggi, aku percaya itu. Kang Adi tidak pernah diragukan kinerjanya dan bisa menempatkan sesuatu sempurna pada tempatnya. Empan papan. Begitu kira-kira jika digambarkan dengan filosofi jawa.

“Alhamdulillah…ikut senang ya kang,” ucapku seraya melempar senyum tipis yang dengan tiba-tiba menyublim ketika mendengar pertanyaan selanjutnya.

“Trus…kamu kapan? Belum datang tuh sang pangeran? Aku ada teman nih Tin, mau nggak tak kenalin. Dia juga baru cari istri lho. Syaratnya yang cantik, mandiri, kuat, dan mapan. Kupikir kamu masuk deh kriterianya. Segala kepribadian dia sudah punya. Rumah pribadi, mobil pribadi, kantor pribadi pokoknya paket komplit deh. Mau ya kukenalin,” kata Kang Adi yang tiba-tiba memberondongku dengan semangat empat lima.

Entah kenapa aku tidak ingin menanggapinya. Apalagi di awal sempat mendengar sederet persyaratan yang diajukan. Daripada dialog terus berkepanjangan pada aku tutup dengan senjata pamungkas, tanpa memberikan jawaban. “Maaf kang, Tina mau dhuha dulu ya,” kataku sambil berlalu menyisakan kekecewaaan.

Tidak hanya dari Kang Adi. Tawaran-tawaran serupa juga sering datang dari berbagai jalur. Beberapa kali mencoba menjalani prosesnya namun rahasia Alloh masih belum terungkap. Ada saja yang menjadikannya gagal. Hingga pada satu titik aku akhirnya pasrah. Jika Alloh menakdirkan jodohku, maka dia akan datang dengan segala kemudahan dan tanpa syarat. Itu keyakinanku.

Waktu terus bergulir dan aktivitas kantor berjalan seperti biasa. Tawaran Kang Adi tidak sempat menyita fikiran karena sudah teralihkan dengan bertumpuk kerjaan. Mengedit naskah untuk terbit dalam tabloid bulanan kami bisa membuat lupa waktu. Beberapa memang harus aku selesaikan hari ini supaya bisa segera masuk ke bagian lay out.

Jam di dinding menunjukkan pukul 5 sore ketika aku mulai merapikan berkas-berkas untuk bersiap pulang. Kalau aku tidak puasa, mungkin masih akan berlanjut merampungkan semua naskah di meja, seperti biasanya. Di saat hening dalam kesendirian dan suasana kantor yang lenggang, tiba-tiba dikejutkan dengan sapaan security yang masuk ke ruangan. “Mbak Tina, ada tamu yang mencari.”

Tamu di jam segini? Siapa dan ada urusan apa bertamu di sore hari? “Siapa pak?” tanyaku heran.

“Saya juga tidak tahu mbak, mereka bertiga menunggu di open space.” Open space adalah salah satu sudut ruangan kantor yang didesain untuk santai, terbuka dan hijau. Biasanya karyawan menggunakan tempat itu untuk membuka bekal makan siang atau mencari inspirasi, termasuk juga menerima tamu-tamu tidak formal untuk ngobrol santai.

Karena penasaran tingkat dewa, aku bergegas menuju open space. Langkah kaki ini agak melambat ketika dari kejauhan melihat seorang laki-laki paruh baya, jejaka dan gadis kecil sedang sibuk menggelar tikar dan menata bekal mereka. Sekilas aku mengenal sosok laki-laki itu. Meski tidak mengenal dekat, aku tahu kiprahnya dari beberapa kegiatan yang kuikuti. Jika ada hiburan nasyid atau seni drama yang tampil dalam sebuah acara, dia motor penggeraknya. Namun dua anak yang bersamanya, baru pertama kali kulihat. Untuk apa mereka sore-sore datang mencariku?

“Assalamu’alaikum..” ragu kuucapkan salam.

“Waalaikumsalam, mbak Tina. Mari bergabung sini, kita bawa bekal untuk buka puasa bersama,” jawabnya dengan santai.

“Maaf…ini ada apa ya?” tanyaku.

“Silakan duduk dulu, nanti akan saya jelaskan.” Tak lama setelah aku duduk dengan berjarak, mulailah dia mengungkapkan maksud kedatangannya bersama jejaka dan gadis kecil yang ternyata adalah anaknya. Sepanjang Anto, laki-laki itu berbicara, kedua anaknya hanya menyimak dan mendengarkan apa yang dikatakan ayahnya, seolah memang sudah dikondisikan.

“Semua ini bukan proses yang tiba-tiba. Saya sudah mencari informasi tentang mbak dan menghubungi ummi untuk meminta ijin sebelum saya memutuskan untuk datang ke sini. Ummi adalah guruku yang selama ini menemani proses menari separuh diriku. “Teruslah memantaskan diri Tin supaya Alloh mengirimkan orang yang pantas bagimu.” Pesan itu yang selalu kuingat untuk senantiasa tidak pernah menyerah dan semakin mendekatkan diri pada Alloh.

Hampir selama 15 menit dia menceritakan tentang dirinya yang selama 3 tahun ini berjuang sendiri merawat buah hatinya setelah sang istri meninggal karena leukemia Tiba-tiba saja ingatanku melayang pada bapak yang sangat kucintai dan kurinduka, yang membesarkan keempat putranya setelah ibu harus berpulang ketika melahirkan adikku. Dan tak pernah kutahu dari mana datangnya, rasa haru dan kehangatan itu menyusup ke dalam hati. Hingga pada akhirnya dia mengungkapkan tujuannya datang sore itu. “Jika Mbak Tina berkenan, maukah membangun rumah tangga bersama saya dan anak-anak,” tanyanya singkat, jelas dan tanpa basa-basi.

Dia tahu, saya masih ragu. Lalu kemudian dia berkata,”Setelah berkonsultasi, saya juga sudah meminta ijin ummi. Mb Tina bisa bertanya ke ummi,” pintanya seolah tahu apa yang ada di benakku.

Tanpa berpikir panjang, aku segera mengaktifkan hp yang ada di genggaman dan menghubungi guruku. Bagaimana pun, aku butuh seseorang yang bisa membantuku lebih memantapkan hati untuk mengambil keputusan.

Begitu telpon tersambung, kuucap salam namun belum sempat aku berkata apa-apa, ummi langsung mengatakan satu kalimat. Tahu betul itulah yang aku butuhkan. “Ummi sudah tahu semuanya. Bismillah…dia laki-laki yang baik dan sholih Tin. Maka tidak ada alasan bagimu untuk menolaknya.”

Belum selesai aku berkata, tiba-tiba tangan gadis mungil yang dari tadi hanya diam mendengarkan ayahnya berbicara, dengan tersenyum manis meraih tanganku dan menciumnya. Menyalurkan kehangatan yang tiba-tiba mengalir tanpa satupun kata yang terucap. Hanya tatapan polosnya yang seolah berkata,”please…say yes i do.”

Maka kututup hari ini dengan rasa syukur yang berlipat, dengan kemantapan hati yang belum pernah kudapat. Ketika Alloh sudah menetapkan, semuanya akan terjadi dengan mudah. Hanya satu ayat yang terlintas di penghujung puasa tarwiyahku. “Maka nikmat Alloh mana yang kamu dustakan?”**End**

18 Juli 2021/8 Dzulhijah 1447 H

Komentar

Postingan Populer