urat nadi KKN


Bismillah...
Syukur terlantun tanpa batas atas demikian banyak kenikmatan yang tercurah tanpa jeda sebagai bukti kecintaan Sang Rabb pada hamba-Nya. Atas begitu banyak kebahagiaan yang terlimpah tanpa pagar penghalang. Atas beraneka ragam cobaan yang menguji dari waktu ke waktu sebagai tanda telah lulus dari cobaan sebelumnya dan naik satu tingkat lagi derajat kita di sisi-Nya.
Satu tema yang biasanya menjadi favorit dijual pada masa kampanye legislatif maupun kepala daerah adalah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Para Caleg, Capres, Cagub atau Cabup selalu mengumandangkan komitmennya, Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Jangankah mereka, jika Anda semua ditanya pendapatnya tentang KKN, dijamin semua akan menjawab, "Say NO to KKN." Betul? (KH Zainudin MZ mode on*)
Namun ketika semua orang berkata sepakat anti KKN, namun fenomena yang terjadi di lingkungan kita berkata lain. Justru bisa dikatakan realita yang ada, entah tanpa kita sadari atau tidak bisa dihindari, kita menjadi pelaku yang nguri-uri KKN langgeng di bumi ini. Bahkan lebih parah lagi kita adalah urat nadi KKN itu sendiri.
Betapa tidak, ketika kita berada di suatu instansi yang menangani sebuah pelayanan produk, jasa atau kerjasama dengan pihak lain, nafas KKN demikian terasa hembusannya. Beberapa instansi yang mengajukan pembelian produk, ada saja permintaan (bagian) untuk pihak yang melakukan pembelian atau lebih akrab disebut komisi. Komisi ini biasanya dilakukan berdasarkan kesepakatan dua pihak yang terbatas dan bukan untuk konsumsi umum. Ada yang berujar, "Lha wong komisi kok diomongke di depan umum, yo piye no." Aroma apakah yang tercium dari hidangan bernama komisi ini. Tidakkah itu istilah lain dari korupsi. 
Ada juga yang permintaan menuliskan jumlah uang yang telah di mark up di kuitansi atas pembelian barang atau jasa. Dan praktik ini masih sangat banyak ditemui di sekitar kita. Mengapa kuitansi harus di mark up nilainya dan kemana uang selisih nilai itu lari? Baru saja fenomena ini saya temui ketika menjadi panitia seminar beberapa waktu lalu. Ada seorang dari instansi pendidikan minta kuitansi yang berbeda dengan nilai tiket yang dia beli. Memang ada selisih harga antara harga tiket umum senilai Rp 150.000 dan akademisi yang hanya Rp 60.000. Karena dari akademisi dia membeli tiket seharga Rp 60.000 dan ketika seminar usai, dia menemui panitia kembali dan minta dibuatkan kuitansi tiket seharga Rp 150.000 untuk 4 orang. Mengapa kuitansi harus di mark up jika dia tidak ingin melarikan selisih uang yang dia dapat dari instansi pendidikan tempatnya bekerja karena dia adalah sifatnya utusan dari instansi tersebut. Lalu nama apa lagi yang tepat untuk tindakan semacam ini jika tidak KORUPSI. Bahkan yang lebih memrihatinkan tindakan itu dilakukan oleh pendidik, pencetak generasi bangsa. Dan sekali lagi, fenomena seperti itu sangat mudah ditemui di sekitar kita bukan?
Mengapa permintaan itu dikabulkan? "Lha gimana lagi, dia relasi kita. Nanti kalau nggak dikasih dia bisa lari dari kita, padahal nilai ordernya kan lumayan." Haiyah... ternyata kembali berujung pada uang.  
Fenomena yang lain juga terasa dalam menangani perjanjian kerjasama. Ada saja proposal masuk yang diembel-embeli dengan nama orang yang memiliki kedudukan di instansi tersebut. Ada temannya bos itulah, saudaranya bos inilah, sohibnya bos sanalah sampai anaknya bos situ. Dan pada pihak penerima proposal pun tidak dapat berbuat apa-apa kecuali meluluskan proposal yang sarat dengan nilai KOLUSI itu. "O iya, sudah dari pak fulan ya." "O.. sudah dapat acc dari mister fulan ya." "O.. yang anaknya bu fulanah ya."
Tidak ada cara lain kecuali mengabulkan proposal itu. Sebab jika tidak, nasib dia di kantor itulah yang dipertaruhkan. "Masak nolak proposal yang sudah di ACC pak bos, bisa bahaya."
Tidak sedikit pula fenomena itu dijumpai di sekitar kita. Bahkan ada dari anak muda yang mengajukan proposal kegiatan dengan membawa nama besar ayahnya. "Pak, saya puteranya Pak Fulan diminta menemui Bapak terkait dengan proposal ini," kata dia.
Mengapa untuk kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan sang ayah, dia harus membawa-bawa nama besar ayahnya. Jika dari mudanya saja dia sudah menggantungkan diri pada cara NEPOTISME dan berlindung pada nama besar ayahnya atau ibunya, lalu bagaimana di ketika dewasa kelak. Rupanya semakin sedikit pemuda yang bisa mewakili ciri pemuda sesungguhnya seperti dalam ungkapan sebuah hadits atau syair (maaf agak lupa) yang berbunyi :"Laisal fata man qola hadza abi, walakinnal fata man qola ha ana dza". Kurang lebih artinya: Bukanlah orang muda kalau bisanya cuman bilang "inilah bapakku, keturunanku", dst, tapi orang muda adalah mereka yang selalu bilang "inilah aku".
Lalu teman, apakah artinya jika dengan lantang kita berkata ANTI KKN, namun dalam keseharian kita menjadi urat nadi hidupnya KKN? Astaghfirulloh...Berat nafas terhembus untuk menjawabnya.
Solo, 24 Maret 2009

Komentar

Postingan Populer