Dari dialog santai pagi hari: Memaki itu tanda kekecewaan pada diri sendiri

Bismillah...

Pagi tadi terjadi dialog dan diskusi yang lumayan menyenangkan antara saya (sambil memasak) dan suami (yang sedang membantu mencuci piring). Meski sibuk dengan aktivitas masing-masing, perbincangan terkait dengan berbagai hal yang sedang berkembang tentang kondisi kekinian berlangsung cukup seru. Banyak hal yang kami "perdebatkan" dan diselingi candaan, hingga sampailah pada satu tema tentang MEMAKI.

Berawal dari keprihatinan pada begitu banyaknya orang yang mudah sekali mengeluarkan cacian dan makian di sosial media. Mennjadikan akun sosmed-nya sebagai tong sampah untuk mengeluarkan segala sumpah serapahnya. Miris saja, lagian kasihan juga khan akun sosmednya hanya dijadikan sebagai tong sampah. hehe... (pembelaan terhadap akun sosmed).

Ada hikmah yang saya ambil dengan dialog saya dengan suami pagi itu (ah..suamiku selalu saja menjadi sumber hikmah bagiku*pesan sponsor :D). Di antaranya adalah bahwa orang yang memaki adalah bentuk ekspresi diri yang menjadi personifikasi dari orang tersebut. Jika dia suka memaki, maka itulah gambaran dari dirinya, persis seperti caci maki yang dia keluarkan dan yang lebih "dalam" lagi bahwa orang yang memaki merupakan bentuk kekecewaannya pada diri sendiri.

"WHOT? yang bener saja, masak bisa begitu, hubungannya dimana?" tanya saya penasaran.

"Lha iyalah, ketika seseorang itu memaki maka itu merupakan penyesalan pada dirinya sendiri bahwa tidak ada tindakan positif lain yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki keadaan yang menurutnya salah kecuali hanya dengan memaki. Artinya dia kecewa pada dirinya karena tidak bisa melakukan apapun untuk membuat perbaikan sehingga dia memuaskan dirinya dengan mengeluarkan caci maki dan sumpah serapah. Hanya dengan memaki itulah dia akan terpuaskan," jelas suami panjang lebar.

Sambil membolak-balik tahu yang sedang digoreng, saya menjadi berpikir, benar juga ya. Bisa jadi memang orang yang suka memaki tersebut memang tidak melakukan tindakan apapun untuk mengubah suatu kondisi menjadi lebih baik atau memang tidak mempu melakukan upaya tersebut sehingga merasa galau lalu keluarlah kata-kata makian.

Paling tidak, memaki, menurut saya adalah pilihan tindakan atau ekspresi yang tidak tepat. Jika kita gemas terhadap suatu kondisi mengapa energi itu tidak disalurkan saja dengan tindakan nyata, berbuat sesuatu yang positif dan meninggalkan memaki.

Menurut Anda benar nggak sih? Kalau pendapat Anda sama dengan saya, yuk kita hilangkan kata-kata kasar, caci maki di media apapun dan di dunia manapun kita berpijak. Ubah cacian itu menjadi tindakan nyata yang bernilai positif . Mari belajar menjadi orang bijak, yang dapat mengubah setiap gangguan menjadi peluang kebaikan. Dunia akan menjadi lebih baik tanpa caci maki, pasti.

Dan kalau menurut Anda hikmah yang saya tangkap dari diskusi dengan suami ini salah, ya maaf. Yang pasti ada satu hal yang bisa saya tawarkan kepada Anda bahwa menciptakan dialog mengasyikkan dengan suami (atau istri) bisa terjadi dimana saja, tak terkecuali di dapur and it's fun. Menyenangkan dan penuh hikmah. Tidak percaya? Silakan coba dan buktikan sendiri.

Wallahu'alam


ketika fajar di karangasem,

14 Juli 2013

Komentar

Postingan Populer