Minggu, 30 Juli 2017

Tersandera persepsi

Bismillah....

Tersandera persepsi. Hm....bingung nggak dengan dua kata tersebut. Bagaimana bisa persepsi menyandera dan siapa yang tersandera?

Nah, daripada bingung, kita bercerita yuk. Eh, tepatnya saya akan bercerita tentang pengalaman yang saya alami sehingga menggelitik saya untuk menulis tema tersandera persepsi.

Pernah nggak kita tiba-tiba merasa mellow ketika memikirkan sebuah kejadian yang menurut persepsi kita memilukan? Misal kita berbincang dengan teman, kebetulan teman kita sedang cape sehingga tidak menanggapinya dengan datar. Mendapatkan tanggapan tersebut, maka mulailah kita bermain persepsi.

"Kok dia jawabnya datar banget sih, sepertinya dia marah ya kepadaku. Apa salahku?"
"Kenapa dia pelit kata ya, jangan-jangan ada perkataanku yang salah sehingga dia marah"
"Ih...sedih banget sih, diajak ngobrol kok nggak ngenakin. Dia sudah tidak temenan nih"
atau parah lagi
"Hm...dia sepertinya tidak jujur kepadaku, pasti ada yang dirahasiakan. Itu pertanda dia tidak cinta lagi kepadaku." Ea.... (yang ini pengalaman pribadi #ups)

Dari semua contoh pernyataan tersebut, semua bersumber pada satu kata, persepsi. Terkadang tanpa adanya bukti yang jelas, hanya dengan berbekal perkiraan dan persepsi, menjadi dasar bagi kita untuk mengambil kesimpulan. Nah, yang disayangkan lagi, kebanyakan persepsi kita itu mengarah pada sesuatu yang negatif, pada akhirnya berkesimpulan negatif dan mendrive kita untuk berperilaku negatif.

Coba lihat di atas, adakah yang mengarah ke tone yang positif? Kebanyakan kita, eh saya ding, kalau baru sensi dan dikuasai emosi bin mellow, biasanya lebih banyak dikuasai oleh persepsi yang negatif. Malangnya kita, eh lagi-lagi saya, persepsi itu kemudian memperdaya kita, bermain di pikiran kita, menguasai hati kita dan menyetir perilaku kita. Ah..parah banget yak :D

Jika sudah sampai pada tahap itu, maka itulah yang saya istilahkan dengan "tersandera persepsi" dimana persepsi bisa mengaduk-aduk perasaan kita, emosi kita dan perilaku kita. Padahal, jika dirunut lebih jauh lagi, belum tentu apa yang kita persepsikan benar atau memang tidak benar.

Nah...nah...untuk sesuatu yang masih belum jelas seperti ini, sesuatu yang masih abu-abu, mengapa kita biarkan untuk menguasai kita, menyandera kita. Rugi banget yak. Lebih baik kita jaga hati kita, pikiran kita dan perilaku kita sehingga tidak mudah disandera oleh persepsi yang buruk. Dan lebih mawas diri, tidak mudah bermain persepsi.

Yuk belajar dan terus belajar untuk mengurangi prasangka dan persepsi yang negatif supaya hidup kita lebih nyaman dan tidak dibebani dengan sesuatu yang belum pasti. Dan satu lagi, banyak berpositif thinking sehingga hidup kita lebih positif.

Yuk ah...be positif :)

Jumat, 28 Juli 2017

Belajar Tulus

Bismillah...

"TULUS"

Satu kata yang dalam dua hari belakangan terus membuat diri ini resah bin galau sekaligus berpikir ternyata  selama ini saya tidak tulus dalam melakukan sesuatu dan selalu ingin melihat hasil nyata dari apa yang saya lakukan.

Konklusi ini saya dapatkan setelah menjalani diskusi yang cukup panjang dengan seorang partner kerja dan mengingatkan saya untuk mengoreksi kembali niat saya dalam melakukan tindakan, sebaik apapun hasil yang kita harapkan.

"Selama ini mbak intan masih berada pada pola kerja transaksional. Jika melakukan sesuatu harus mendapatkan hasil yang langsung kelihatan. Padahal tidak semua usaha yang kita lakukan akan langsung memberikan dampak nyata. Hasilnya mungkin baru bisa dilihat entah berapa waktu ke depan." Begitu kira-kira perkataan bijak dari partner kerja saya yang luar biasa bisa menjadikan saya melakukan introspeksi diri.

Yups, ungkapan itu disampaikan ke saya setelah kita berdiskusi tentang keseharian yang kami hadapi. Sekian waktu mengemban amanah ini dan melakukan berbagai program dan strategi, rasa-rasanya kok saya belum bisa melihat perubahan yang saya harapkan. Apakah apa yang sudah coba saya upayakan tersebut tidak memberikan makna bagi mereka? Apakah yang sudah saya lakukan ini tidak ada artinya apa-apa?

Lalu saya tersadar bahwa mengharapkan adanya perubahan (meski itu perubahan positif) dari sebuah upaya yang kita lakukan itu ternyata tidak ada bedanya dengan menginginkan hasil yang diistilahkan partner saya tadi sebagai pola kerja transaksional.

Padahal yang saya harapkan, adalah sesuatu yang positif yaitu membuat semua bahagia, membuat semua nyaman, happy dan memberikan dampak positif dalam semangat beraktivits. Ah, semoga ini bukan sekadar pembelaan diri. Tapi sungguh, setiap apa yang saya lakukan, tidak ada satu pun yang memiliki niat buruk. Namun selurus apapun niat itu, saya merasa tidak semua pihak bisa menerima dengan baik. Hiks...sedih tiada tara.

Maka mulailah masalah masuk ke ranah rasa. Memang tidak mudah jika membahas masalah rasa. Tidak ada satu indikator pun yang bisa menjadi ukuran tentang rasa dan tidak mungkin membuat semua orang memiliki rasa yang sama.

Dan rasa adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Kejadian yang sama belum tentu dirasakan sama juga oleh semua orang, tergantung pengalaman dan latar belakangnya.

Trus bagaimana dong? Haruskan masih berharap orang lain memberikan feed back yang sama?  Ah, mungkin benar kata teman saya, bahwa saya masih berpegang pada pola kerja transaksional. Mengapa tidak mulai merubah pola saya, atau merubah target saya sehingga apapun yang saya terima atas kebaikan yang telah saya lakukan, tidak akan merubah dan melongsorkan semangat saya untuk terus melakukan kebaikan.

Do good, always good, for good...no matter what. Bismillah...




Wallahu'alam bishowab...

Kamis, 29 Juni 2017

Berdamai dengan kecewa

Bismillah...


Tuhan Dulu Pernah Aku Menagih SimpatiKepada Manusia Yang Alpa Jua ButaLalu Terheretlah Aku Dilorong GelisahLuka Hati Yang Berdarah Kini Jadi Kian Parah

Semalam Sudah Sampai KepenghujungnyaKisah Seribu Duka Ku Harap Sudah BerlaluTak Ingin Lagi Kuulangi KembaliGerak Dosa Yang Menghiris Hati
Tuhan Dosaku Menggunung TinggiTapi Rahmat-Mu Melangit LuasHarga Selautan SyukurkuHanyalah Setitis Nikmat-Mu Di Bumi
Tuhan Walau Taubat Sering KumungkirNamun Pengampunan-Mu Tak Pernah BertepiBila Selangkah Kurapat Pada-MuSeribu Langkah Kau Rapat Padaku
(Mengemis Kasih, Raihan)
Entah kenapa nasyid jadul yang akrab di telinga ketika masa-masa awal kuliah dulu kembali terlintas di benak dalam beberapa waktu terakhir. Seolah mengajak diri ini untuk menelaah lagi makna yang tersirat dari syair lagu tersebut. Makna yang tanpa disadari demikian dekat dengan keadaan yang belakangan memberikan warna dalam perjalanan diri.
Menjadi manusia yang sadar dengan ketidaksempurnaan tentunya menjadikan kita menjalani kodrat sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Namun seringkali, kelemahan itu menjadikan kita berharap kepada manusia, baik itu di lingkup terdekat kita pada keluarga, rekan-rekan kerja maupun masyarakat tempat tinggal kita.
Namun kadang, harapan yang kita terlalu berlebihan sehingga jika harapan tidak tercapai maka kita mudah untuk kecewa. Dan ketika kekecewaan bertumpuk dengan kekecewaan maka rasa sakit akan mendera. Keadaan akan semakin parah jika belum kering luka kecewa yang lama ditambah dengan rasa kecewa baru yang mendera. ow..ow..ow..sakitnya tuh di sini....
Nah, bagaimana supaya kita tidak mudah didera sakit karena kecewa?Resep yang paling ampuh adalah jangan terlalu berharap kepada manusia, gantungkan semua harapan hanya kepada Alloh SWT semata. Jika kita sudah melakukan usaha yang terbaik, maka pasrahkan semua hasil akhirnya kepada Alloh SWT. Senantiasa  berkhusnudzon bahwa apapun hasil akhir yang didapat, itulah yang terbaik dari Alloh karena Alloh tidak akan mengecewakan kita. Hasil akhir yang diberikan Alloh adalah yang terbaik untuk kita.
Lalu kepada sesama manusia, teruslah berbuat kebaikan meskipun kita dikecewakan. 
Terakhir, mengutip ungkapan Ust Ida Nur Laila dalam grup Parenting, yakinlah janji Allah, bahwa balasan kebaikan adalah kebaikan. Cepat atau lambat. Allah sesuai persangkaan hambanya. Allah tidak tidur dan tidak lupa. Jika orang lain enggan membalas kebaikanmu, mengabaikan dan mencibir, maka ingatlah Allah yang akan membalas. Tak perlu marah atau dendam. Tetap tersenyum dan bermuka cerah. Katakan kata-kata penduduk surga, kata-kata yang  mengandung keselamatan.
Ah...indahnya jika kita mampu berdamai dengan kecewa. Senantiasa menyandarkan diri bahwa Allohlah yang paling berkuasa atas segalanya.
5 syawal 1438 h29 juni 2017

Jumat, 23 Juni 2017

Power Syndrome

Bismillah...


Ini kisah berawal dari cerita seorang teman yang gemes dengan sebuah fenomena yang terjadi di lembaga tempat dia bekerja dimana terjadi pengunduran diri secara serempak yang dilakuan oleh rekan-rekan kerjanya karena ada kebijakan yang dirasa tidak pas yang ditetapkan untuk pemegang jabatan. Tidak enaknya lagi kebijakan tersebut ditetapkan sendiri oleh si pemegang kebijakan tersebut tanpa memperhatikan pendapat dari pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut. Dan yang lebih tidak menyenangkan lagi adalah keputusan tersebut bersifat mutlak alias tidak dapat diganggu gugat.



"Tidak adakah forum yang bisa digunakan untuk mendiskusikan keputusan tersebut," tanyaku waktu itu. Dia hanya menggeleng kecut. Jika hanya satu dua orang yang tidak setuju dengan keputusan ini mungkin bisa dimaklumi. Tapi lain halnya jika mayoritas tidak sepakat dan keputusan itu tetap dipaksakan. Tidak ada ruang untuk dilakukan syuro karena sang pengambil keputusan merasa bahwa kebijakan yang dia ambil sudah 100% benar dan dia merasa paling berhak mengambil keputusan tersebut karena dia yang memegang jabatan sehingg dialah yang berhak memutuskan, tanpa memerlukan pertimbangan dari orang lain.


Ketika mendapati tidak ada lagi ruang untuk melakukan diskusi, maka rombongan karyawan yang harus terkena dampak menjalankan keputusan tersebut merasa berat dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri alias resign dari posisi mereka. Lalu apa sikap sang pengambil kebijakan? Dengan tegas (atau arogan?) dia berkata,"Silakan saja mengundurkan diri, ada banyak orang di luar sana yang berminat menduduki posisi yang Anda tinggalkan."


Gambaran di atas hanyalah satu fenomena saja. Gambaran tentang seorang yang merasa memiliki power besar dan memiliki hak untuk mengambil keputusan tanpa memedulikan pendapat orang lain. Istilah kekiniannya EGP lah "emang gue pikirin." Tanpa mengecilkan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tersebut, alangkah enaknya jika sebelum keputusan tersebut ditetapkan ada proses syuro yang dilakukan sehingga setiap orang bisa menerima keputusan ini dengan legowo.


Hmmm...bagaimanapun memegang amanah bernama jabatan itu berat baik mengemban amanah tersebut dengan baik maupun mempertanggungjawabkannya. Berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang bisa menyebabkan sakit hati orang lain lebih utama dilakukan, lebih bijak serta menghindari gajala power syndrome, yaitu penyakit yang menjangkiti orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan. 


Nah, gejala apakah yang bisa dijadikan indikasi adanya power syndrome?

1. Merasa paling berkuasa
Jabatan memang menjadikan kita memiliki kekuasaan untuk memutuskan dan melakukan sesuatu. Namun hati-hati, jika rasa memiliki itu terlalu dominan bisa menjadikan kita besar kepala dan sok berkuasa.


2. Merasa paling berhak memutuskan

Bolehlah kita memiliki jabatan, namun tidak kemudian membuat kita "semena-mena" dalam mengambil keputusan dan tidak mempertimbangkan orang-orang yang terkena dampak keputusan tersebut untuk sekedar mengeluarkan isi hati dan mengutarakan pendapat mereka. Hal itu akan lebih "nguwongke" dibandingkan dengan mengambil keputusan sendiri karena merasa paling berhak memutuskan. Bahaya...


3. Merasa paling benar

Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan kita. Setinggi apapun jabatan  dan sebesar apapun kekuasan yang kita miliki selalu ada peluang untuk berbuat khilaf dan salah. Waspadalah. Dan jika kita sudah merasa paling benar sendiri, maka gejala power syndrome itu bisa jadi telah merasuki kita.


Yuks kita introspeksi diri. Selalu jaga hati dan senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh. Bukankan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap apa yang dia lakukan? 


Wallahu'alam bi showab...



23 juni 2017

h-1 menjelang ied 1438 h







Rabu, 14 Juni 2017

Ingin sehat, jangan lupa bahagia!!!

Bismillah...

Silaturahmi membawa banyak manfaat, salah satunya tentu bisa menambah ilmu. Nah, ulasan kali ini adalah ilmu yang saya dapat ketika bersilaturahmi bersama adik-adik dengan tema kesehatan muslimah. Sengaja dipilih silaturahmi karena targetnya menambah ilmu tentang kesehatan muslimah dan mempersiapkan masa depan bagi para calon bunda.

Nah, dari setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan hikmah kali ini adalah bisa mendapat pencerahan terkait kesehatan wanita. Dan pencerahan akan lebih terasa jika banyak orang yang mendapatkan manfaatnya maka untuk itulah saat ini saya berbagi.

Ternyata sehat tidak hanya meliputi satu unsur yaitu jasmani, tapi ada unsur lain yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Unsur tersebut antara lain:

1. Sehat jasmani
Salah satu indikator yang harus terpenuhi untuk sehat yang pasti adalah sehat jasmani, fisik. Sehat fisik ini harus menjadi perhatian para ibu dan calon ibu. Nah, bagaimana cara supaya sehat fisik? Kuncinya ada 3, yaitu cukup asupan gizi, olahraga teratur dan cukup istirahat.

2. Sehat ruhani
Tidak cukup sehat jasmani jika ruhaninya eror maka dia tidak sehat. Maka dari itu ruhani harus terjaga. Tidak stres karena stres akan menghasilkan hormon yang membuat kita semakin lelah dan tentunya berdampak pada kesehatan. Tidak hanya menghindari stres, guna menjaga kesehatan faktor penting yang harus dijaga dan dimunculkan adalah rasa bahagia. Ketika kita bahagia maka akan menghasilkan hormon endorphin yang bermanfaat meningkatkan nafsu makan, meningkatkan sistem imunitas tubuh, mengurangi rasa nyeri dan tidur lebih nyenyak. So, kalau ingin sehat maka benar kata orang, jangan lupa bahagia.

3. Sehat sosial
Manusia adalah makhluk sosial, tak terkecuali seorang wanita. Menjadi makhluk sosial bisa diartikan dia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa orang lain dan ternyata menjaga interaksi dan menjalin silaturahmi dengan orang lain itu bisa membuat kita lebih sehat. Maka jadilah makhluk sosial yang saling berhubungan dengan orang-orang di sekitar, jangan menjadi orang yang menyendiri dan terisolir dari lingkungan karena itu menyedihkan. Banyak berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan akan menjadikan kita sehat sosial dan melengkapi unsur sehat.

4. Sehat ekonomi
Salah satu unsur yang sering kali terlewatkan adalah sehat ekonomi. Ternyata untuk menjadi sehat tidak cukup hanya fisik dan psikis saja namun faktor ekonomi juga memegang peranan penting dalam menciptakan tubuh yang sehat. Kefakiran tentulah membawa dampak yang besar pada kesehatan. Jadi, jika ingin sehat maka perekonomian juga harus diperhatikan. Mencari rejeki yang halal dan menjadikan kita mapan bisa mendukung terwujudnya manusia yang sehat.

Mari, wujudkan pribadi yang sehat. Karena sehat akan memperkokoh kita dan Alloh mencintai hamba-Nya yang kuat.

Wallahu'alam bi showab

Rabu, 07 Desember 2016

Perjalanan Membela Kitab Suci

 Bismillah...
Masih segar dalam ingatan aksi damai yang dilakukan ummat Islam pada 212 di Monas. Ketika membaca postingan teman-teman yang bergabung dalam aksi itu, terasa sangat gelora dan semangat yang luar biasa. Misi mereka HANYA satu, tidak ada yang lain, yaitu membela Kitab Suci yang telah dinistakan dan dikatakan sebagai sebuah kebohongan. Al Quran adalah dari Alloh SWT yang selalu terjaga kebenaran dan kesuciannya, siapapun kita, rasanya tidak akan setuju jika kitab yang menjadi tuntutan hidup kita dikatakan sebagai sebuah kebohongan atau digunakan untuk alat membohongi. Jika suatu benda digunakan sebagai alat untuk membohongi, maka pastilah dianggap benda itu tidak benar atau tidak baik bukan? Lalu apakah kita akan tinggal diam jika sesuatu yangdianggap tidak baik itu adalah Al Quran? Relakah kita jika Kitab Suci dihinakan?

Rasa itulah yang menggelora di hati jutaan insan yang berkumpul di sekitar Monas saat itu. Rela melakukan pengorbanan untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada Al Quran. Lalu kita? Apa yang kita lakukan? Boro2 ikut membela, membacanya (Al Quran) saja hanya berkala kita lakukan. Kala2 iya, lebih banyak tidak, maka wajarlah jika kita sulit untuk merasakan semangat dan gelora kecintaan yang demikian besar. Bahkan ada dari kita yang sibuk bersuudzon bahkan memaki aksi damai tersebut atau efek yang ditimbulkannya (jalan ruwetlah, macet lah, dll). Tidak bisa menangkap agenda besar yang diperjuangkan dalam aksi itu, membela Al Quran, membela Islam. Sebuah perjalanan untuk membela Kitab Suci.

Dan aku, hanya sesekali merinding menyaksikan melalui media yang ada, termasuk membaca tulisan dari salah seorang yang tidak sengaja menyaksikan aksi damai ini :

Catatan Dr. Iswandi Syahputra (Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)......bagus 😭

Ada istilah baru “nyinyiers

Demi Allah... baru kali ini saya melihat aksi demo hingga menangis. Saya tidak kuat menahan rasa haru, bahagia, bangga, gembira, dan sedikit amarah semua berbaur menjadi satu.

Awalnya saya ke Jakarta untuk wawancara narasumber riset saya. Tapi sebuah penerbit juga mengusulkan saya menulis buku tentang aksi 411 dan 212, lebih kurang membahas 'Media Sosial dan Aksi Damai 411/212'. Karena kebetulan itu, saya bergerak hadir ke Monas pusat lokasi aksi 212.

Sambil menangis tersedu melihat aksi 212 saya telpon isteri untuk mengabarkan situasinya. Luar biasa, persatuan, kesatuan, kekompakan, persaudaraan, silaturrahmi umat Islam demikian nyata.

Pukul 07.00 WIB saya bergerak dari Cikini menuju Monas, ojeg yang saya tumpangi harus muter mencari jalan tikus. Semua jalan dan lorong mengarak ke Monas macet total. Perjalanan saya terhenti di Kwitang, dari Kwitang saya jalan kaki menuju Monas, hingga ke perempatan Sarinah. Saat sampai di Tugu Tani, dada saya mulai bergetar tak karuan. Seperti orang takjub tidak terkira. Umat Islam yang hadir saling mengingatkan untuk hati-hati, jangan injak taman, buang sampah pada tempatnya, segala jenis makanan sepanjang jalan gratis. Tidak ada caci maki seperti yang terjadi di sosial media. Saat itu sudah mulai perasaan berkecamuk, tapi masih bisa saya tahan.

Tepat di depan Kedubes AS, dada saya meledak menangis haru saat seorang kakek renta menawarkan saya buah Salak, gratis. Saya tanya, "Ini salak dari mana Kek?" "Saya beli sendiri dari tabungan", jawabnya. Saya hanya bisa terdiam dan terpaku menatapnya.

Di sebelahnya, ada juga seorang Ibu tua juga menawarkan makanan gratis yang dibungkus. Sepertinya mie atau nasi uduk. Bayangkan, Ibu itu pasti bangun lebih pagi untuk memasak makanan itu. Saya tanya, "Ini makanan Ibu masak sendiri?" "Iya," jawabnya. "Saya biasa jualan sarapan di Matraman, hari ini libur. Masakan saya gratis untuk peserta aksi". Masya Allah... Saya langsung lemes, mes, messss... Saya semakin lemes sebab obrolan kami disertai suara sayup orang berorasi dan gema suara takbir.

Da., sepanjang jalan yang saya lalui, saya menemukan semua keajaiban Aksi Super Damai 212. Pijat gratis, obat gratis, klinik gratis, makan dan minum gratis. Perasaan lain yang bikin saya merinding, tidak ada jarak dan batas antara umat Islam yang selama ini kena stigma sosial buatan mereka para nyinyiers dan haters sebagai 'Islam Jenggot', 'Islam Celana Komprang', 'Islam Kening Hitam', 'Islam Cadar', 'Islam Berjubah' dan stigma negatif lainnya. Semuanya bersatu dalam: Satu Islam, Satu Indonesia, dan Satu Manusia!

Sepanjang perjalanan, saya mendengar antara peserta bicara menggunakan bahasa daerah Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh, Minang bahkan ada juga yang berbahasa Tionghoa. Mungkin mereka saudara kita dari kalangan non muslim.
Melihat itu semua, 'saya menyerah', lagi-lagi saya menyerah!

Saya tidak kuasa menahan gejolak rasa yang bergemuruh dalam dada. Saya putuskan menepi, mencari kafe sekitar lokasi. Kebetelun saya punya sahabat baik yang pengelola "Sere Manis Resto dan Cafe". Lokasinya strategis, pas di pojok Jl. Sabang dan Jl. Kebon Sirih. Tidak jauh dari bunderan BI dan Monas. Saya putuskan menyendiri masuk cafe itu untuk memesan secangkir kopi dan menyaksikan semua peristiwa dari layar TV dan Gadget yang terkadang diacak timbul tenggelam kekuatan sinyalnya.

Tapi di Resto/Cafe 'Sere Manis' itu juga saya temui umat Islam berkumpul membludak. Rupanya mereka antri mau mengambil wudhu yang disiapkan pengelola restoran. Tidak cuma itu, saya menemukan ketakjuban lain. Di dalam resto/cafe saya bertemu teman baru, seorang Scooter yang tinggal di daerah Cinere. Dia dan teman-temannya memilih berjalan kaki dari Cinere ke Monas (sekitar 40 KM) untuk merasakan kebahagiaan para santri yang berjalan dari Ciamis ke Jakarta. Masya Allah.... Saya semakin sangat kecil rasanya dibanding mereka semua. Ini kisah dan kesaksian saya tentang Aksi Super Damai 212. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang seperti saya yang tidak terhitung atau tidak masuk dalam gambar aksi yang beredar luas. Kami orang yang lemah, tidak sekuat saudara kami yang berjalan kaki di Ciamis atau Cinere.

Maka, janganlah lagi menghina aksi ini. Apalagi jika hinaan itu keluar dari kepala seorang muslim terdidik. Tidak menjadi mulia dan terhormat Anda menghina aksi ini. Terbuat dari apa otak dan hati Anda hingga sangat ringan menghina aksi ini? Atau, apakah karena Anda mendapat beasiswa atau dana riset dari pihak tertentu kemudian dengan mudah menghina aksi ini?

Jika tidak setuju, cukuplah diam, kritik yang baik, atau curhatlah ke isteri Anda berdua. Jangan menyebar kebencian di ruang publik. Walau menyebar kebencian, saya tau kalian tidak mungkin dilaporkan umat Islam. Sebab umat Islam tau persis kemana hukum berpihak saat ini.

Terlepas ada kebencian dari para ‘nyinyiers’, saya bahagia bisa tidak sengaja ikut aksi damai 212 ini. Setidaknya saya bisa menularkan kisah dan semangat ini pada anak cucu saya sambil berkata: "Nak, saat kau bertanya ada dimana posisi Bapak saat aksi damai 2 Desember 2016? Bapak cuma buih dalam gelombang lautan umat Islam saat itu. Walau cuma buih, Bapak jelas ada pada posisi membela keimanan, keyakinan dan kesucian agama Islam. Jangan ragu dan takut untuk berpihak pada kebenaran yang kau yakini benar. Beriman itu harus dengan ilmu. Orang berilmu itu harus lebih berani. Dan mereka yang hadir atau mendukung aksi 212 adalah mereka yang beriman, berilmu dan berani. Maka jadilah kau mukmin yang berilmu dan pemberani anakku".

 DR Iswandi Syahputra
[Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta]

Tidak ada kata lain yang ingin kutuliskan dalam posting kali ini selain sebait doa: "Semoga Islam, agama yang menyelamatkan, bisa menjadi penyelamat seluruh ummat manusia. Dan semoga kita semua semakin dijaga keimanan kita, termotivasi untuk terus menambah amalan ibadah kita termasuk membaca Al Quran supaya kecintaan pada kitab suci bisa tumbuh pada diri kita, pada diriku dan dirimu. Iya....KAMU." (end)

Minggu, 26 Juni 2016

Im Back

Bismillah...

Rasanya sudah lama sekali tidak mengisi blog ini. Beberapa kali ada keinginan untuk menulis tapi selalu berkesampingkan oleh kesibukan yang lain. Alhasil, ide-ide yang sepintas muncul menjadi menguap begitu saja. Hilang tanpa bekas dan tinggal kenangan yang kadang tidak bisa terbaca dengan sempurna.

Awalnya sih mencoba memaklumi kepada diri sendiri. Ok deh aku khan sibuk, banyak kegiatan dan tugas yang tak kunjung reda datang bertubi-tubi namun hingga kemudian hasilnya aku rasakan sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa berhenti menulis itu sangat merugikan. Ni otak menjadi tumpul, stagnan dan tidak kreatif. Yang sangat terasa adalah ketika harus ngomong di depan banyak orang baik memberikan sambutan dan memberikan pelatihan. Sangat terasa keberagaman kata-kata dan ide yang keluar dari otak saya berjalan sangat lambat sehingga yang terlontar hanya itu-itu saja. Monotan dan sangat membosankan.

Errrrggggghhhhht...sedih dan sebel rasanya. What's wrong with me??????

Setelah mencoba melihat perjalanan yang akhir-akhir ini kulalui maka sampailah pada kesimpulan bahwa proses kreatif yang harusnya terus berjalan di otakku tidak bekerja. Dan kambing hitamnya adalah karena aku sudah tidak pernah menulis dan efeknya tidak banyak mmebaca referensi dan parahnya lagi membuat proses kreatif MATI.

Hiks....sedih banget yak. Tidak ini hal ini terus terjadi maka sampailah pada sebuah keputusan bahwa aku harus menulis kembali.
So...i'm back. Here i am yang mencoba menulis kembali dan semoga istiqomah supaya proses kreatif bisa terus berjalan dan kenangan tidak hanya sebatas kenangan namun bisa memberikan makna kepada diri sendiri dan orang lain.

Apakah keinginan itu akan teraih? SEMOGA...
Juni 2016
11:57
22 ramadhan


x

Sabtu, 04 April 2015

"welcome 2015"

Bismillah...

Rasanya sudah sangat terlambat ya untuk mengatakan "welcome 2015" karena hari-hari di bulan April kini telah kita eja. Dan waktu terus saja berlari tanpa peduli kadang kita lupa untuk memaknainya atau bahkan mensyukurinya.

Well...here we are....

Ingin rasanya menuliskan semua yang terjadi dalam catatan perjalanan cahaya tapi apalah mau dikata.
Satu yang tak ingin kulupakan adalah selalu ada hikmah dari setiap peristiwa.

Berharap tahun ini selalu menjadi pintu menuju kesuksesan baru. Aamiiin

Awal april 2015

Kamis, 06 November 2014

13 tahun pernikahanku tidak diakui oleh negara

Bismillah...

Ini sebuah kisah yang baru saja saya alami dan semoga saja tidak terjadi pada yang lainnya. Tapi sebelum kisah ini terjadi pada Anda, ada baiknya Anda melihat kembali dengan teliti buku nikah Anda. Apakah semua datanya sudah tertulis dengan benar? Alhamdulillah jika sudah karena jika ada data yang tidak benar bahkan pada hal-hal yang tidak urgen menurut kita, maka bisa jadi kisah saya ini pun akan terjadi pada Anda juga.

Inilah kisahnya...

Selama 13 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami tidak pernah menemukan permasalahan dengan buku nikah. Urusan kemanapun yang memerlukan buku nikah lancar nyaris tanpa kendala. Tapi kondisi berubah 100% ketika suami mengurus akte kelahiran untuk anak ke-4 kami. Permasalahannya ada pada buku nikah kami. Petugas dispendukcapil meragukan keaslian buku nikah kami "hanya" karena nama yang tertulis tidak sama dengan nama di KTP. 

Perbedaannya pun tidak signifikan, nama suami yang Budhi Hartanto ditulis tanpa huruf h dan nama saya Intan Nurlaili ditulis Intan Nurlaila. Tidak hanya itu, kondisi ini diperparah dengan inkonsistensi penulisan pada lembar depan dan belakang karena lembar depan sudah berupaya dibenarkan hanya dengan menambahkan huruf h di antara d dan i pada nama suami dan membenarkan nama saya dengan nurlaili. Namun, lagi-lagi di halaman belakang tulisan masih asli salahnya.  :D

Nah, kembali pada permasalahan, kondisi ini ternyata menjadi awal penghalang dalam mendapatkan akta kelahiran anak kami yang keempat. Ketika mengurus ke dinas terkait, semua persyaratan sudah dilengkapi oleh suami. Lagi-lagi, karena tulisan nama di buku nikah tersebut tidak sama maka petugas menolak membuatkan akta kelahiran anak saya. "Saya tidak berani pak, karena yang mengeluarkan bukan solo tapi demak. bapak harus membawa surat nikah yang asli dan juga saksi. Karena tulisan namanya tidak sama," kata petugas itu. 

Memang saya menikah di demak, bukan di Solo. Hal ini yang menjadi penguat petugas itu untuk menolak permintaan kami. "Kalau di Solo mungkin saya bisa bantu memintakan legalisir di KUA sini. Tapi karena ini diterbitkan KUA  demak saya bisa berani," jelasnya.

Suami berusaha menjelaskan bahwa surat nikah itu juga yang kami gunakan untuk mengurus akta kelahiran anak kami yang pertama hingga ketiga dan menjadi syarat mengajukan kpr di bank, semuanya tidak ada masalah. Namun petugas tetap bersikukuh dengan prinsipnya. Suami pun akhirnya pulang dan kembali lagi keesokan harinya dengan membawa buku nikah yang asli dan juga seorang saksi. Tapi lagi-lagi petugas menolaknya karena buku nikah yang asli pun dinilai meragukan. 

"Bapak silakan cari legalisir surat nikah di KUA demak, dengan adanya legalisir kami baru bisa memberikan akta kelahiran pada anak bapak," sarannya. Ternyata tidak hanya ijasah yang dilegalisir ya, buku nikah pun ada legalisir. :)

Waktu suami cerita ke saya tentang semua itu, satu yang terlintas dalam benak saya adalah berarti negara tidak mengakui pernikahan kami yang sudah berusia 13 tahun ini dong. Ah...ada-ada saja... 

Tidak mau berkepanjangan maka kami melakukan saran petugas tersebut.
Dibantu bapak ibu (jadi ngerepotin orangtua nih) kami mengurus legalisir buku nikah dan atas inisiatif ibu dan sebagai antisipasi permasalahan ke depan maka dibuatlah buku nikah baru berjudul "Duplikat Buku Nikah."

here you are.....

Akhir cerita, setelah 13 tahun kami mendapat buku nikah baru yang benar-benar diakui keabsahannya oleh negara.
well...setidaknya bisa menjadi pelajaran dan semoga hal serupa tidak terjadi pada Anda.

akhir oktober 2014*

*based on true story, dengan sedikit olahan

Jumat, 24 Oktober 2014

Keteguhan Sang Fajar

Bismillah...

Saya tidak tahu nama lengkapnya dan saya sungguh tidak tertarik untuk mengetahuinya. Yang saya tahu namanya Fajar dan dari sepenggal nama tersebut, banyak hal luar biasa yang membuat saya takjub dan banyak belajar tentang keikhlasan, kekuatan, kesabaran, keyakinan dan keteguhan. Maka tidak salah jika saya memberikan judul tulisan ini Keteguhan Sang Fajar.

Fajar adalah seorang anak yang kini berusia 11 tahun dan terlahir dengn kondisi menderita cerebral palsy (CP). Apa itu CP? Cerebral Palsy (CP, Kelumpuhan Otak Besar) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan buruknya pengendalian otot, kekakuan, kelumpuhan dan gangguan fungsi saraf lainnya.

Maka sejak bayi Fajar harus berjuang dengan kondisinya. Adalah ayah ibunya yang demikian sabar mendampingi dan mengasuh Fajar hingga dia kini menjadi anak yang hafal Al Qur'an (hafidz).

Sulit dinalar dengan akal memang, bagaimana bisa seorang anak yang mengalami kelumpuhan otak besar bisa hafal 30 juz Al Qur'an. Tapi itulah realitanya. Allohu Akbar.

Dari silaturahmi saya dan teman-teman ke rumahnya, terungkaplah rahasia sukses Fajar bisa menjadi tahfidz. Menurut cerita ibunya, yang sangat luar biasa, rahasianya adalah ada pada keyakinan. Keyakinan bahwa ayat-ayat Al Quran akan memberikan dampak positif bagi perkembangan Fajar jika terus diperdengarkan. "Sebagaimana banyak orang memiliki keyakinan bahwa memperdengarkan lagu klasik bagus untuk perkembangan anak, saya dan suami punya keyakinan bahwa ayat-ayat Al Quran adalah mukjizat sehingga kami lebih memilih memperdengarkan ayat Al Quran kepada Fajar ketimbang musik klasik," ujar mamanya.

Al hasil, sejak bayi lantunan ayat-ayat suci Al Quran selalu mengiringi setiap aktivitas Fajar. Diputar terus menerus secara berurutan mulai juz 1 sampai 30 dan kembali lagi. "Tak peduli apapun aktivitas Fajar bahkan sampai dia tidur pun kami tetap memperdengarkan ayat-ayat Al Quran," ujarnya.

Dan hasilnya sangat luar biasa, ternyata kelumpuhan otak yang diderita Fajar bisa diterapi bahkan bisa merekam ayat demi ayat dalam Al Quran hingga hafal di laur kepala.

Kondisi Fajar yang sudah menghafal Al Quran tidak disadari oleh orangtuanya hingga ada seorang ustad yang mengatakan bahwa Fajar sudah menghafal Al Quran. Antara percaya dan tidak, maka orangtuanya meminta ustad yang tahfidz untuk mengecek hafala Fajar dan ternyata terbukti bahwa Fajar sudah hafal Al Quran. Allohu Akbar.

"Hal itu baru kita sadari ketika Fajar usia 4 tahun. Antara percaya tak percaya ternyata memperdengarkan ayat-ayat Al Quran tidaklah sia-sia. Yang kami heran, jika hal itu (hafal Al Quran) bisa terjadi pada Fajar mengapa tidak pada kami ya," ujar sang ibu tersenyum simpul.


Bukan tanpa kendala, tekad untuk membersamai Fajar dengan ayat-ayat Al Quran penuh dengan perjuangan. Terlebih dengan kemajuan teknologi informasi yang sangat gencar, terutama adanya televisi dengan berbagai tayangan. "Itulah sebabnya kami memutuskan untuk tidak memiliki tv di rumah. Hiburan yang ditonton Fajar juga selektif kita pilih, paling hanya lewat cd edukasi. Memang tidak mudah tanpa tv di rumah, tapi itu pilihan. Kami yang harus mengalah. Kebutuhan informasi biasanya kita penuhi dengan buka internet atau baca koran," papar bunda Fajar.


Tidak hanya itu, mengiringi terapi yang dilakukan, perkembangan Fajar pun semakin baik. Yang semula hanya bisa terlentang di tempat tidur kini sudah mulai belajar berjalan dan berbicara meski masih terdengar cedal. Bahkan saat ini Fajar memiliki cita-cita luar biasa yang dituliskan dalam pigura dan dipajang di rumahnya.

Tiada henti diri ini bertasbih sepanjang melakukan silaturahmi ke rumahnya dan senantiasa berdoa semoga putra-putri saya dikarunia keteguhan dan semangat yang luar biasa dalam berjuang untuk kehidupan dunia dan akhiratnya.

Sekarang Fajar tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa, cerdas dan sholih. Setiap kali terdengar adzan, dia bergegas bersiap ke mesjid meskipun untuk berjalan saja masih perlu dibantu. Sungguh...Maha Besar Alloh atas segala kuasa-Nya.

Colomadu, pertengahan 2014                          

Senin, 29 September 2014

May oh may....

Bismillah....

May is our month

Bisa dikatakan Bulan Mei adalah bulannya 'kita', saya dan suami. Karena di bulan ini adalah ulang tahun pernikahan kita, ulang tahun suami dan ulang tahun saya juga. Dan tahun ini, bulan mei semakin terasa luar biasa karena di bulan ini bertambah satu lagi amanah Alloh jadi genap empat. Ah... hidup ini semakin memberikan warna-warnanya.

Di ulang tahun pernikahan kami, seperti biasa saya menagih suami yang rutin membuatkan puisi. Maka terciptalah puisi di bawah ini. Tahun ini adalah tahun ke 13 pernikahan kami:

"kau bilang mencintai hujan, tapi kau berteduh dari guyurannya

kau bilang mencintai matahari, tapi kau berlindung dari panasnya

kau bilang mencintai angin, tapi kau tutup jendelamu saat dia dibertiup dan datang

Karenanya aku tergugu dan takut saat kau datang dan mengatakan "aku juga cinta padamu" 

biarkan aku yg buktikan... biarkan aku yg tunjukkan.. cintaku adalah perjuangan bukan hanya sekedar utk meraih pesonamu tapi juga senyum "Illah" ku #puisilepas waktu"  


Paling tidak, puisi bisa menjadi pengingat janji di awal kita dipertemukan Alloh dalam mahligai rumah tangga. Membuat kembali tegar di antara terpaan-terpaan gelombang yang mendera setiap waktu. 

Hanya satu doa saya "Semakin kokohkan ikatannya ya Alloh...."

Di bulan ini, saya juga harus menjalani operasi ketiga kalinya yang jaraknya hanya terpaut dua bulan dari operasi sebelumnya. Saya akan menceritakan detail tentang hal ini tapi belum sampai hati hingga sekarang. Ah....saya masih memerlukan waktu untuk kembali mengisahkan tentang hal itu.

Well... apapun itu, always alhamdulillah...

Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya

     Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kanto...