Selasa, 24 April 2018

Membentuk Karakter Anak melalui Kajian Parenting PKK RT


Di ruang tamu yang mungil dan bersih, beberapa ibu muda menyimak dengan tekun pemaparan seorang pembicara, yang juga perempuan. Bertempat di kediaman Wurry Mahardika, Minggu (21/1/2018) mereka berkumpul untuk melakukan kegiatan Kajian Parenting yang pertama dengan tema Mendidik Anak Jaman Now. Nara sumber yang diundang adalah  Direktur Griya Parenting Solo Farida Nuraini.
Di ruang keluarga, tepat di belakang ruang tamu, beberapa anak asyik dengan mainannya sambil menikmati makanan kecil.  Nyonya rumah sengaja menyediakan mainan dan makanan kecil untuk anak-anak agar mereka tenang sambil menunggu ibu mereka menimba ilmu. Namanya juga anak-anak yang masih berusia balita dan Sekolah Dasar (SD), sesekali mereka rebutan mainan sesama temannya dan ibunya pun menenangkannya. Atau mereka minta diantar pipis dan ibunya pun rehat sejenak untuk mengantar sang buah hati ke kamar kecil. Para ibu itu adalah anggota dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Rukun Tetangga (RT) 04, Rukun Warga (RW) 07 Bulak Indah Kelurahan Karangasem, Kecamatan Laweyan Surakarta. Kajian Parenting merupakan salah satu program kerja Pengurus PKK RT 04 yang diketuai oleh Intan Nurlaili.  Kajian Parenting ditujukan untuk Ibu-ibu muda (Bunda jaman now), guna memberikan bekal kepada mereka dalam mendidik anak-anak. Meski ditujukan untuk Bunda jaman now, kegiatan Kajian Parenting juga melibatkan Ibu-ibu PKK yang berusia lebih tua, untuk menggali pengalaman dari Ibu yang lebih senior.

“Anak adalah titipan Tuhan. Orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kajian Parenting sangat penting bagi orangtua karena program ini merupakan sekolah bagi orangtua agar orangtua pandai dalam mengasuh, mendidik sang buah hati. Bagaimanapun, Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya,” papar Intan Nurlaili, ibu empat anak yang juga karyaweti radio swasta terkenal di Solo.

Kajian Parenting pertama dipandu oleh Intan Nurlaili dan dihadiri oleh Rina Isnaini, Anik Hidayati, Herlinda, Dewi Kania, Yuni Sri Dianingrum, Rachma Herlina, Dwi Ramadhani, Weni Indrariadi juga nyonya rumah Wurry Mahardika. Acara berlangsung santai tapi serius, diselingi tanya jawab dan diskusi. Meski kadang “terganggu” oleh anak-anak mereka, tapi para Ibu tetap fokus dan mengikuti kegiatan hingga rampung.

Dalam pemaparannya, Farida Nuraini menjelaskan mendidik anak jaman now berbeda dengan pola asuh orangtua jaman dulu. Mengingat telah terjadi pergeseran pola hidup dan ekonomi besar-besaran, ditunjang dengan teknologi canggih yang serba cepat dan mengglobal. Perlu upaya keras dari orangtua untuk mendidik anak menjadi anak mandiri, tangguh, bisa berkarya, kuat dan survive.“Mendidik anak jaman now, tidak sekedar menjadikan anak yang taat dan penurut saja, tapi menjadi anak yang mandiri. Kalau sekedar menjadi anak yang taat, mereka hanya sekedar menuruti keinginan orangtua saja dan hanya menjadi penurut di hadapan kita. Lebih dari itu, kita harus menggali potensi, bakat dan minat anak. Tugas orangtua mengembangkan bakat anak tersebut, walau kadang-kadang tidak langsung kelihatan,”ujar Farida yang juga Ketua PKK RW 2 Karangasem.

Menurutnya, waktu yang paling tepat membentuk seorang anak adalah ketika masih kecil. “Usia anak Ibu berapa?,” tanya Farida kepada salah satu Ibu yang hadir.“Anak saya berumur 13 tahun dan delapan tahun,” jawab Rina Isnaini, Ibu berputra dua, Dika dan Raya, yang berusia 41 tahun ini.“Njenengan masih punya banyak waktu untuk membentuk anaknya. Saat ini waktu yang tepat untuk mendidik anak. Masih ada waktu sampai mereka berusia 18 tahun untuk mendidik mereka. Persiapkan anak-anak agar menjadi anak yang tangguh di masa depan ,” jelasnya.

Farida yang juga Kepala Sekolah SD Al Abidin Surakarta memaparkan, manusia mempunyai karakter yang sudah jadi pada usia 18 – 20 tahun. Waktu kecil inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orangtua untuk membentuk mereka. Kalau sudah terlambat, akan lebih sulit. Walaupun masih bisa, namun membutuhkan energi yang lebih banyak. Ibarat kayu yang sudah tua, ketika ditekuk, akan mudah patah. Berbeda dengan kayu yang masih muda, tidak mudah patah dan bisa dibentuk sesuai keinginan.

Dia mengingatkan kepada orangtua untuk tidak memendekkan mimpi anak-anak. Bangun mimpi anak sejak sekarang agar pola pikirnya menjadi besar, besar dan besar. Orangtua harus jeli menggali potensi, bakat dan minat anak. Kalau sudah ditemukan bakatnya, tinggal mengarahkan dan mengembangkan. “Jangan menghalang-halangi minat anak dengan alasan repot. Lihatlah, apa yang mereka sukai, yang paling banyak menyita waktu mereka. Kesukaan anak masih sering berubah-ubah, ikuti saja dan arahkan. Ada juga yang baru kelihatan saat usia SMA,”tandasnya.

Pada jaman yang sudah mengglobal degan informasi dan teknologi yang canggih, anak-anak harus diarahkan ke wawasan yang lebih luas, mengarah ke internasional. Jika ingin anak sukses dan karya mereka dilihat dunia, kata Farida karya anak harus di-online-kan.

Silaturahmi tetangga 

Masih berkaitan dengan kegiatan Kajian Parenting, pada kesempatan yang lain, Bunda jaman now berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah tetangga yang lebih senior. Tentu saja, mereka ingin menggali ilmu dan pengalaman kepada ibu rumah tangga yang lebih berpengalaman dalam mendidik anak-anak. Kali ini mereka berkunjung ke keluarga Suprapto (57 tahun) dan Nanik Supriyanti (52 tahun).

Pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai guru ini dikarunia tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Anak pertama, Praditya Mukti Ali, sudah bekerja di Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta. Anak kedua Pranindya Fatimah Zahra mahasiswi Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Dan anak terakhir, Praziztya Murtadha Muthahari, siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Surakarta kelas 9.

Sama seperti suasana di rumah Wurry Mahardika, para Ibu mengajak anak-anak dan mereka bermain di teras rumah. Ketika hujan turun, beberapa anak bermain hujan-hujanan. Anak-anak sengaja diajak agar bersosialisasi, kenal dan akrab dengan anak tetangga. Jika tidak dibiasakan demikian, anak-anak ini tidak mengenal teman dari tetangga sendiri karena keseharian mereka sudah disibukkan dengan kegiatan sekolah, juga ada yang full day school. Tidak setiap hari mereka bisa bertemu dan bermain dengan tetangga sendiri karena jarak rumah satu dengan rumah lain di wilayah RT 04 cukup berjauhan.

Nanik membagikan pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya. Tema yang dipilih dalam Kajian Parenting kali ini adalah Menumbuhkan dan menanamkan kebiasaan positif pada anak. Silaturahmi berlangsung Minggu (18/3/2018). Meski sore itu cuaca mendung, tidak menyurutkan semangat para Bunda jaman now untuk menggali ilmu.

“Dasar utama kami mendidik anak adalah berdasarkan agama. Anak kita bukan milik kita. Mereka adalah titipan Allah. Dan kita harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti,” tegas Nanik.

Yang harus diperhatikan dalam menanamkan kebiasaan positif pada anak adalah dengan memberi contoh, suri tauladan yang baik dari orangtuanya. Untuk itu, orangtua dituntut menjaga sikap yang baik secara terus menerus dan konsisten. Perintah atau menyuruh dalam bentuk lisan, tidaklah cukup untuk membiasakan perilaku baik pada anak, tanpa contoh nyata dari orangtuanya.

“Contohnya, kita mengajak anak untuk mengerjakan sholat. Tidak bisa, kita menyuruh anak sholat, sementara kita masih melanjutkan cuci baju. Ketika kita ajak anak untuk sholat, ya kita sudah siap untuk melakukan sholat. Menanamkan kebiasaan positif itu sebenarnya mudah, jika sejak kecil dididik dengan melihat contoh langsung dari orangtuanya,” katanya.

Pengajar di SMA Negeri 7 Surakarta ini menekankan, kedua orangtua harus kompak dan satu suara dalam mendidik anak-anak. Misalnya dalam menghadapi permintaan anak. Sudah lazim jika anak menuntut berbagai permintaan sesuai keinginan mereka. Orangtua harus selektif dalam menuruti permintaan anak dan tidak semua keinginan bisa dituruti. Di sinilah butuh kekompakan dari kedua orangtuanya. Ketika orangtua merasa ada anaknya yang menginginkan sesuatu, kedua orangtua sebaiknya mendiskusikan terlebih dahulu, apakah keinginan anak ini akan dituruti atau tidak. Jika sepakat dituruti, ayah dan ibunya harus satu suara meluluskan. Jika tidak, maka keduanya harus kompak untuk tidak memberikannya.

“Kalau anaknya minta pada ayahnya dan tidak dituruti, lalu merengek ke ibunya, maka ibunya juga jangan menuruti. Kalau sampai salah satu menuruti, si anak akan menempel terus pada ayah atau ibunya yang menuruti itu. Ini tidak baik dalam perkembangan anak,” jelasnya.

Dalam kehidupan bertetangga, pasangan Suprapto – Nanik mengajarkan anak-anaknya untuk berlaku sopan santun, menghargai dan ramah kepada tetangganya. Contohnya, ketika sedang berjalan dan melewati rumah tetangga yang saat itu ada pemiliknya, diajarkan untuk menyapa dan permisi kepada tetangganya itu. Atau jika ada tetangga atau  orang lain yang dikenal lewat di depan rumah, disapa atau diberikan senyuman.

Menghadapi serbuan tehnologi dan komunikasi saat ini, pasangan ini menanamkan keterbukaan pada anak-anak. Mereka diberikan handphone (HP) ketika usia mereka sudah cukup untuk bisa mempergunakan HP dan bertanggung jawab terhadap HP yang dimilikinya. Anak-anak diberikan HP ketika sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ketika berkumpul di rumah, semua HP, baik milik orangtua maupun anak-anak dikumpulkan di satu tempat dan tidak boleh dibawa ke kamar. Orangtua boleh melihat isi HP anaknya dan anak-anak juga diperbolehkan melihat isi HP orangtuanya. Ketika ada salah satu HP bordering, yang mengangkat boleh siapa saja. Sehingga orangtua mengetahui dan bisa memantau kegiatan anak-anaknya.

“Saya tidak memperbolehkan anak-anak bawa HP ke kamar, lalu asyik bermain HP sendiri. Kita seharian sibuk dengan urusan masing-masing. Jangan sampai ketika berkumpul, semua asyik bermain dengan HPnya sendiri-sendiri. Kalau lagi kumpul di rumah, kita bercanda, bertukar cerita di ruang keluarga. Kalau sudah ngantuk, baru masuk ke kamar masing-masing untuk tidur,” katanya. 

Kajian Parenting, Selaras dengan Tujuan PKK

Kajian Parenting yang digagas oleh Intan Nurlaili juga bertujuan untuk menarik Bunda jaman now agar ikut berperan serta dalam kegiatan PKK. Pengurus PKK dituntut jeli dan mencari program kerja yang dibutuhkan dan disukai oleh Bunda jaman now. Pertemuan yang diselenggerakan rutin setiap bulan, tidak sekedar diisi dengan kegiatan kumpul-kumpul, arisan dan makan-makan. Namun  juga diisi dengan berbagai kegiatan yang membawa manfaat, termasuk memberikan bekal kepada para Ibu dalam mendidik anak-anaknya. Waktu kegiatan Kajian Parenting dipilih pada hari Minggu, yang diharapkan bisa dihadiri para bunda ini.

Hal ini sejalan dengan tujuan PKK, yaitu terwujudnya keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Dari keluargalah, diharapkan tumbuh generasi berakhlak mulia dan berbudi luhur dengan harapan menjadi keluarga sehat sejahtera, maju dan mandiri. Ketika semua sudah tertata dengan baik, diharapkan juga timbul kesetaraan dan keadilan gender dengan memahami tugas masing-masing anggota keluarga. Dengan demikian, akan timbul kesadaran hukum dan lingkungan. Keluarga adalah bentuk negara yang paling kecil. Jika negara paling kecil ini sudah tertata dengan baik, diharapkan terwujudnya Negara Republik Indonesia yang lebih baik.

Bagi Wurry Mahardika (34 tahun), ibunda tiga anak, yaitu Zahra (10 tahun), Raihan (tujuh tahun) dan Ashma (tujuh bulan) ini, Kajian Parenting yang diselenggarakan PKK RT 04 ini penting dan perlu baginya. Sebab, dalam seni mendidik anak, lingkungan sekitar juga memegang peranan yang sangat penting guna terciptanya peradaban yang baik, terutama di lingkungan rumah.

“Kami yang muda-muda ini masih fakir ilmu dan sangat membutuhkan ngangsu kawruh kepada Ibu yang lebih senior. Kita butuh sharing pengalaman dari Ibu-ibu senior yang sudah lebih banyak merasakan asam garam dalam mendidik anak,” ujar istri dari Andrea Hermawan ini.

Senada dengan Wurry, Dewi Kania, Ibu seorang putra, bernama Abyas berusia tujuh tahun ini merasakan manfaatnya mengikuti kegiatan Kajian Parenting RT 04. Hal ini melengkapi Kajian Parenting yang juga secara rutin diikutinya di tempat anaknya menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak.

“Kegiatan parenting di RT bagus banget, melengkapi kajian parenting sekolah anak. Selain menambah ilmu, juga mempererat hubungan dengan tetangga. Manfaat pasti ada, tapi mungkin belum terasa signifikan karena implementasinya juga belum bisa saya terapkan dengan maksimal, ujar Kania, karyawati di Rumah Sakit Paru-paru Surakarta ini.#
Ibu-ibu anggota PKK RT 04 RW VII.
Nb. Tulisan ini adalah penggalan karya dari Sri Mustokoweni, salah satu kader PKK RT 04 RW VII yang luar biasa dan berhasil menang Juara III pada Lomba Jurnalistik PKK tingkat Jawa Tengah.Semua kisah yang ditulisnya adalah kegiatan yang kami jalankan dan masuk dalam program kerja di rt kami. Semoga hal-hal kecil yang kita lakukan di lingkungan kita bisa memberikan manfaat dan inspirasi kebaikan untuk sesama. Aamiiin.***


Senin, 26 Maret 2018

KLA itu.... Keluarga Layak Anak

Bismillah...

Alkisah, hari itu kita jalan-jalan ke Taman Balekambang, kebetulan pas jadwalnya kakak khilya pulang pondok, maka bolehlah pagi itu kita ingin refresh bersama. Apalagi di Balekambang pas ada event Festival Buah, kalau lihat dari foto-foto yang dishare teman-teman sepertinya sangat menggiurkan. Sambil refresh, itung-itung sekalian hunting buah. Eh tapi bukan itu tema yang kali ini ingin dibahas, hanya prolog saja karena inti dari tema kali ini jauh lebih penting jika dibandingkan dengan hunting buah.

Apakah itu, kita lanjutkan kisahnya ya. Harapan bisa hunting buah ternyata hanya sebatas harapan. Hari itu Balekembang sangat ramai dengan ribuan pengunjung sehingga, bagi saya, merasa tidak begitu nyaman. Maka dikuburlah harapan awal dan dibelokkan pada upaya untuk mengajak anak-anak bersenang-senang, salah satunya dengan menuruti keinginan si kecil bermain di arena balon, naik kereta dan memancing di kolam pancing ikan plastik.

Nah, ada kisah yang menyedihkan nih ketika sedang berada di arena memancing dan menggelitik saya untuk menuliskannya di sini. Ketika sedang menunggu Aji dan kakaknya memancing, datangkan satu keluarga ke arena yang sama dengan kami. Ada ayah, ibu dan 2 orang anak, yang satu usia sekitar 6 tahun dan yang kecil masih sekitar 1 tahun.

Ketika mendekat di arena kami, si ibu sibuk mencarikan anaknya yang kecil tempat untuk memancing. "Ayo dik duduk sini sayang," kata ibunya dengan penuh kasih sayang. 

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan sampai ada satu kalimah yang terucap dari lisan sang ibu dengan nada jengkel. "Kakak...ada apa sih, kalau pengen sesuatu itu ngomong dong, kalau cuma diam gitu mana bunda tahu. Bunda nggak suka kalau seperti itu," ujarnya. Setelah itu perhatian sang bunda kembali tertuju pada sang adik saja.

Jujur, mungkin hal yang sama pernah juga kita lakukan ketika ingin tahu apa yang diinginkan oleh anak kita tapi dia diam seribu bahasa. Iya khan...Target kita adalah supaya anak  berani menyampaikan keinginannya dengan barucap. Si anak mungkin butuh membangun keberanian dan kepercayaan dirinya untuk menyampaikan keinginannya, apakah yang dia inginkan cukup berharga untuk didengarkan, apakah yang dia pikirkan cukup bernilai untuk dihargai?
Dan ketika dia berani berucap, berarti dia sudah berjuang mengalahkan ketakutannya dan apapun yang dia katakan patut mendapat apresiasi. Setidaknya itu yang saya fahami sebagai upaya untuk menghargai anak, sebagai upaya untuk menempatkan anak sebagai pribadi yang memiliki harga diri.

Namun sayangnya kejadian selanjutnya membuat pilu tatkala sang ayah turut ambil andil saat si kakak tak kunjung juga bersuara.
"Ayo kak ngomong dong, kakak mau apa?" tanya sang ayah dengan lembut. Hal itu rupanya menumbuhkan keberanian sang kakak yang akhirnya memberanikan diri untuk berbisik kepada ayahnya.

Saya tidak mendengar apa yang dibisikkan anak itu tapi dari respon yang diberikan ayahnya saya menjadi tahu apa keinginan yang dari tadi dipendamnya. Respon yang membaut pilu hati saya, membuat saya berempati pada anak itu. Nah, apa sih responnya?

Serta merta si ayah berkata dengan sinisnya tapi masih mencoba membalutkan dengan kata-kata lembut, "Oh...jadi kakak ingin memancing, gapapa ayo sini memancing sama adik, kakak khan masih bayi ya. Ini lho dik, kakak masih bayi ingin memancing."

Disayat sembilu

Mendengar kata-kata itu menjadikan hati ini disayat sembilu. Betapa tidak, saya yakin sang kakak pasti sudah mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan apa yang dia inginkan. Namun setelah dia berhasil menaklukkan ketakutan tersebut, tiba-tiba harus menghadapi respon yang menjatuhkan harga dirinya.

Mendengar komentar sang ayah tadi, kakak dengan ragu-ragu mengambil pancing yang ada di depannya dan masih berniat untuk mewujudkan keinginanya meski harga dirinya telah dilukai karena dikatakan sebagai bayi. Tapi lagi-lagi, melihat kakak tetap bersikukuh ingin memancing, sang ayah seperti tidak ikhlas dan serta merta membisikkan kata-kata ke telinga kecilnya dengan suara yang cukup jelas terdengar oleh saya. Kata-kata penekanan lebih dalam lagi dari sebelumnya. "Kakak khan masih bayi ya mau main pancing. Kakak masih bayi...." ujarnya dengan nada mengejek.

Kata-kata itu lengkap dengan intonasinya cukup memberikan gambaran kepada saya bahwa  si ayah ingin kembali menekankan menekankan bahwa memancing tidak layak dilakukan oleh sang kakak jika dia tidak ingin dikatakan sebagai BAYI.

Anda bisa membayangkan bagaimana perasaan sang kakak waktu itu? Seorang anak yang ingin dihargai posisinya sebagai kakak tapi dihancurkan harga dirinya dengan memberinya lebel bayi. Maka demi mempertahankan harga diri, setidaknya di mata orangtuanya, dengan raut muka murung, perlahan dia meletakkan kembali pancing yang sudah di tangannya dan menjauh dari arena.

Melihat apa yang dilakukan anak itu, sang ayah terlihat tersenyum puas karena target tercapai. Memang, si kakak akhirnya tidak bermain pancing untuk mempertahankan harga dirinya. Tapi saya sungguh tidak habis pikir,  apa yang salah dengan bermain pancing bagi seorang anak berusia sekitar 6 tahun. Bukankah melarangnya bermain berarti menghalangi anak untuk mendapatkan haknya? Hak untuk bermain, bereksplorasi, bergembira dan dihargai.

Saya tidak tahu apa alasan sang ayah melarang anaknya bermain pancing. Tapi apapun alasannya, dengan kata-kata dan lebel yang (mungkin) diucapkan sang ayah tanpa rencana, secara tidak sadar telah membuat luka pada hati anaknya. Luka karena tidak dihargai keinginan, pendapat dan harga dirinya untuk satu hal yang sangat logis dilakukan anak-anak. Bisa jadi, hal itu akan menjadikan sang kakak semakin tidak percaya diri dan takut menyampaikan pendapatnya. Bukankan rasa percaya diri pada anak sangat penting untuk masa depannya?

Ayah...bunda...hal kecil itu mungkin lepas dari perhatian kita, betapa anak kecilpun punya harga diri yang penting untuk dihargai. Jaga buah hati kita yuk, jadikan keluarga kita adalah tempat yang nyaman untuk tumbuh kembang anak kita dan yang paling penting menghargai hak-haknya. Tidak hanya kota saja khan yang dipromosiakan menjadi KLA alias Kota Layak Anak, tapi justru yang paling mendasar adalah keluarga kitalah yang harus pertama menjadi KLA yaitu Keluarga Layak Anak. (end)

x

Minggu, 04 Maret 2018

Ekspresi Menentukan Prestasi


Bismillah...

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk introspeksi diri, salah satunya adalah dengan meminta masukan kepada orang-orang yang banyak berinteraksi dengan kita. Melalui cara itu, kadang kita akan menemukan fakta di luar dugaan kita dan jika itu adalah sebuah kenyataan dan bisa membuat kita berubah menjadi lebih positif, mengapa tidak?


Memasuki bulan muharrom, diniatkan untuk melakukan muhasabah. Selain secara mandiri, maka mulailah mencari masukan ke teman-teman kantor dimana saya menghabiskan waktu delapan jam sehari dari jam 08.00 sampai 16.00.


Pada sebuah morning briefing yang dilakukan setiap senin pagi, saya sengaja meminta teman-teman untuk memberikan masukan kepada saya, hal-hal apa yang mereka temui dalam diri saya dan membuat mereka tidak nyaman.


Hasilnya, benar-benar di luar dugaan. Sesuatu yang sama sekali tidak terduga dan menjadi pengamatan, rerasan bahkan pertanyaan di benak mereka. Dan satu hal itu sepenuhnya di luar dugaan saya. Apakah satu hal itu? Ia adalah EKSPRESI.


Teman-teman tim marketing ternyata benar-benar pengamat sejati dari ekspresi saya dan parahnya saya sama sekali tidak menyadarinya. Saya tidak sampai menduga bahwa ekspresi saya akan memberikan dampak besar pada mood dan kinerja mereka. Olala...sungguh jadi feeling guilty bener deh.


Hingga pada suatu saat ketika kita melakukan morning breafing bersama, saya berniat untuk meminta masukan dari tim terkait apapun, termasuk masukan tentang diri saya. Faktanya, ditemukan beberapa masukan yang membuat saya di satu sisi merasa berterima kasih dan di sisi lain merasa bersalah. Ingin tahu apa saja pernyataan mereka?


Let's see:

1. "Mbak Intan...katanya selalu terbuka menerima semua masukan, tapi yang kita rasakan nih setiap kali kita kasih masukan yang tidak sama dengan usulan mbak intan tuh, tiba-tiba ekspresinya langsung berubah gitu. Jadinya kita yang mau meneruskan sudah gak enak hati."
=ehm...suer saya tipe orang terbuka dengan setiap masukan, tapi tiba-tiba ekspresi berubah itu apakah benar begitu ya? itu yang selama ini tidak kusadari. ah..jadi harus lebih berhati-hati nih untuk berekspresi dan belajar untuk mengatur ekspresi yang tidak annoying meski kita merasa biasa-biasa saja.

2. "Kita nggak tahu nih ya mbak, kadang masalah apa yang dipikirkan mbak intan. Tapi ketika pagi hari, kita datang ke kantor, trus lihat mbak intan sudah duduk di depan komputer dengan muka yang serius (baca:cemberut) tuh membuat kita bertanya-tanya. Ada apa ya? Kita punya salah apa ya? trus ujung-ujungnya langsung menerjunkan mood kita, jadi males marketingan. Bener deh mbak, nggak enak bener dilihatnya."

=duh..duh...yang satu ini nih bikin feeling guilty banget. emang sih kadang pagi-pagi udah serius dan sibuk sendiri dengan kerjaan yang terus menggunung gak pernah ada matinya. Tapi semua itu nggak ada kaitannya kok dengan kalian. Maafkan ya kalau akhirnya menjadikan tidak semangat melakukan job. Nah ini nih yang dikatakan ekspresi menentukan prestasi.

Maka kemudian, sejak saat itulah saya berjanji bahwa setiap pagi harus memasang muka manis, tersenyum ceria dan sumringah penuh suka cita. Hehe... Bukan napa-napa sih, kalau mereka gak mood jualan trus target tidak tercapai, maka jadi kacau. Duh...bisa berabe, apa yang saya katakan pada pak bos nantinya. Masak harus ngomong target tidak tercapai gara-gara ekspresi saya. Nggak banget deh. so sad...


Itulah sepengkal kisah saya tentang begitu eratnya kaitan antara ekspresi dan prestasi. Terima kasih buat teman-teman satu timku yang sudah kasih banyak introspeksi untuk bahan muhasabah. Kalian...terbaiiiik.....(end)






Senin, 04 September 2017

[REVIEW] Purbasari Hi-Matte Lip Cream, Sempurnakan Cantikmu




Kadangkala kaum hawa kebingungan untuk mencari make up yang sesuai. Begitu juga dengan saya. Jujur, saya bukan tipe orang yang suka banget pakai make up jika keluar rumah, inginnya tampil natural di setiap kondisi. Tapi bekerja di sektor publik menjadikan saya perlu berkenalan dengan make up.


Kebingungan saya terjawab sudah dengan hadirnya produk make up dari Purbasari. Biasanya, kenal dan menggunakan produk-produk dari Purbasari atau PT Gloria Origata Cosmetics bukan produk make upnya, lebih pada lulur dan perawatan tubuh dan taraaa...hadir di acara Cantik Bersama Purbasari yang digelar di Solo Paragon mall akhir agustus lalu mengubah persepsi saya tentang Purbasari yang ternyata memiliki produk kecantikan yang lengkap, mulai lulur mandi Purbasari dan krim kaki Kana yang biasa saya pakai, krim wajah New Cell, spray cologne Amara, lulur mandi dan pemutih untuk remaja Softwhite, decorative series Freya, pembersih wajah Cleanface dan tentu produk make up serta lipstick lengkap yang sudah dipasarkan di seluruh Indonesia. It's true...



Satu kalimat yang membuat saya tertarik adalah pernyataan dari Margareta Sianne, Channel Activation Specialist Purbasari.  Menurut Sianne, point penting dalam make up adalah lipstick! Padahal, saya orang yang paling picky masalah lipstick. Banyak pertimbangan. 

Tapi ketika dikenalkan dengan produk keluaran baru dari Purbasari yaitu Purbasari Hi-Matte Lips Cream Hidra Series ini, saya langsung jatuh hati. ahay....


Nah, seperti apa sih penjelasan Purbasari terkait dengan produk terbaru mereka? Kita simak yuk...

Purbasari Hi-Matte hadir dengan 5 varian warna cantik yang cocok digunakan semua wanita Indonesia, kapanpun, dan dimanapun, yaitu 01   Vinca, 02   Azalea, 03  – Lantana, 04   Zinnia dan 05  - Freesia.
@purbasarimatte.lipstik



Purbasari Hi-Matte, merupakan satu-satunya lip cream dengan karakter yang maksimal, meliputi:

 high pigmented
 high coverage
 long lasting
 fast drying
 mudah digunakan
 ringan di bibir

no transfer
memberikan kelembapan di bibir
mengandung antioksidan


mengandung UV Filter yang dapat melindungi bibir dari efek buruk sinar matahari




Pada produk new release ini Purbasari begitu memahami kebutuhan wanita yang sering terpapar sinar matahari sepanjang tahun. Paparan sinar matahari yang berlebih inilah dapat membakar, membuat bibir kering & meningkatkan produksi pigmen melanin di bibir yang menyebabkan warna bibir menjadi lebih gelap. 

Untuk mencegah warna bibir menjadi lebih gelap, maka pilihlah produk yang mengandung antioksidan & UV filter, seperti Purbasari Hi-Matte, sehingga bibir wanita Indonesia terlindung dari efek buruk sinar matahari.


Nah cukup jelas khan ulasan dari Purbasari, lalu apa yang membuat saya jatuh hati? Pengen tahu, keep on reading ya di review saya
Kemasan box Purbasari terlihat elegan. Kotak yang dominan warna hitam dengan kombinasi emas menjadikan produk ini mewah. Logo halal MUI tercantum di salah satu sisi kemasan menjadikan saya semakin mantap mengenakan lipstick ini. Lebih mantap saja rasanya. 

Di kemasannya, semua keterangan terkait produk cukup jelas tertera, mulai dari pilihan warna, ingredients, kode produksi, produsen, exp date dan berat produk.





Ketika dibuka, kemasan lip cream berbentuk kotak yang tegas namun ramping. Dengan list emas yang memisahkan antara kemasan dan tutup mempercantik tampilan. Meski ada yang mengatakan terkesan tua, tapi bagi saya sih gak masalah. Cantik saja.
@purbasarimatte.lipstik

Aplikatornya cukup panjang, pas dan gampang mengaplikasikannya. Apalagi tekstur lip cream yang creamy menjadikan saya cukup mudah untuk mengoleskan ke bibir.

Bagi saya cukup sekali oles saja sudah bisa mendapatkan warna yang pas, tidak terasa tebal dan langsung menempel di bibir. Memang pada dasarnya saya lebih suka warna yang natural dan light, jadi cocok deh... Makanya dari 5 varian warna, saya cenderung suka no.2 Azalea, pas banget dan masuk dengan warna kulit saya.
www.intannurlaili@blogspot.co.id


Nah, bagaimana dengan daya tahan nih. Akhir-akhir ini saya cukup akrab dengan lip cream yang satu ini dan terbukti lho tahan lama, Purbasari lip cream bisa tahan dari pagi sampai sore pulang kerja.

Dengan berbagai kelebihan yang diberikan, harga yang dipasang di angka 40K - 50K cukup murah. Pokoknya gak bakal rugi deh. Purbasari Hi-Matte Lip Cream worted banget untuk dimiliki.

Terakhir nih, setiap wanita itu cantik. Sepakat? Kalau saya sih yes pastinya. Iya dong setiap wanita itu cantik dan kecantikan alami yang dimiliki oleh wanita akan semakin sempurna dengan sentuhan lipstick yang tepat. Purbasari Hi-Matte Lip Cream tentunya.

Penasaran? yuk dicoba....

Minggu, 30 Juli 2017

Tersandera persepsi

Bismillah....

Tersandera persepsi. Hm....bingung nggak dengan dua kata tersebut. Bagaimana bisa persepsi menyandera dan siapa yang tersandera?

Nah, daripada bingung, kita bercerita yuk. Eh, tepatnya saya akan bercerita tentang pengalaman yang saya alami sehingga menggelitik saya untuk menulis tema tersandera persepsi.

Pernah nggak kita tiba-tiba merasa mellow ketika memikirkan sebuah kejadian yang menurut persepsi kita memilukan? Misal kita berbincang dengan teman, kebetulan teman kita sedang cape sehingga tidak menanggapinya dengan datar. Mendapatkan tanggapan tersebut, maka mulailah kita bermain persepsi.

"Kok dia jawabnya datar banget sih, sepertinya dia marah ya kepadaku. Apa salahku?"
"Kenapa dia pelit kata ya, jangan-jangan ada perkataanku yang salah sehingga dia marah"
"Ih...sedih banget sih, diajak ngobrol kok nggak ngenakin. Dia sudah tidak temenan nih"
atau parah lagi
"Hm...dia sepertinya tidak jujur kepadaku, pasti ada yang dirahasiakan. Itu pertanda dia tidak cinta lagi kepadaku." Ea.... (yang ini pengalaman pribadi #ups)

Dari semua contoh pernyataan tersebut, semua bersumber pada satu kata, persepsi. Terkadang tanpa adanya bukti yang jelas, hanya dengan berbekal perkiraan dan persepsi, menjadi dasar bagi kita untuk mengambil kesimpulan. Nah, yang disayangkan lagi, kebanyakan persepsi kita itu mengarah pada sesuatu yang negatif, pada akhirnya berkesimpulan negatif dan mendrive kita untuk berperilaku negatif.

Coba lihat di atas, adakah yang mengarah ke tone yang positif? Kebanyakan kita, eh saya ding, kalau baru sensi dan dikuasai emosi bin mellow, biasanya lebih banyak dikuasai oleh persepsi yang negatif. Malangnya kita, eh lagi-lagi saya, persepsi itu kemudian memperdaya kita, bermain di pikiran kita, menguasai hati kita dan menyetir perilaku kita. Ah..parah banget yak :D

Jika sudah sampai pada tahap itu, maka itulah yang saya istilahkan dengan "tersandera persepsi" dimana persepsi bisa mengaduk-aduk perasaan kita, emosi kita dan perilaku kita. Padahal, jika dirunut lebih jauh lagi, belum tentu apa yang kita persepsikan benar atau memang tidak benar.

Nah...nah...untuk sesuatu yang masih belum jelas seperti ini, sesuatu yang masih abu-abu, mengapa kita biarkan untuk menguasai kita, menyandera kita. Rugi banget yak. Lebih baik kita jaga hati kita, pikiran kita dan perilaku kita sehingga tidak mudah disandera oleh persepsi yang buruk. Dan lebih mawas diri, tidak mudah bermain persepsi.

Yuk belajar dan terus belajar untuk mengurangi prasangka dan persepsi yang negatif supaya hidup kita lebih nyaman dan tidak dibebani dengan sesuatu yang belum pasti. Dan satu lagi, banyak berpositif thinking sehingga hidup kita lebih positif.

Yuk ah...be positif :)

Jumat, 28 Juli 2017

Belajar Tulus

Bismillah...

"TULUS"

Satu kata yang dalam dua hari belakangan terus membuat diri ini resah bin galau sekaligus berpikir ternyata  selama ini saya tidak tulus dalam melakukan sesuatu dan selalu ingin melihat hasil nyata dari apa yang saya lakukan.

Konklusi ini saya dapatkan setelah menjalani diskusi yang cukup panjang dengan seorang partner kerja dan mengingatkan saya untuk mengoreksi kembali niat saya dalam melakukan tindakan, sebaik apapun hasil yang kita harapkan.

"Selama ini mbak intan masih berada pada pola kerja transaksional. Jika melakukan sesuatu harus mendapatkan hasil yang langsung kelihatan. Padahal tidak semua usaha yang kita lakukan akan langsung memberikan dampak nyata. Hasilnya mungkin baru bisa dilihat entah berapa waktu ke depan." Begitu kira-kira perkataan bijak dari partner kerja saya yang luar biasa bisa menjadikan saya melakukan introspeksi diri.

Yups, ungkapan itu disampaikan ke saya setelah kita berdiskusi tentang keseharian yang kami hadapi. Sekian waktu mengemban amanah ini dan melakukan berbagai program dan strategi, rasa-rasanya kok saya belum bisa melihat perubahan yang saya harapkan. Apakah apa yang sudah coba saya upayakan tersebut tidak memberikan makna bagi mereka? Apakah yang sudah saya lakukan ini tidak ada artinya apa-apa?

Lalu saya tersadar bahwa mengharapkan adanya perubahan (meski itu perubahan positif) dari sebuah upaya yang kita lakukan itu ternyata tidak ada bedanya dengan menginginkan hasil yang diistilahkan partner saya tadi sebagai pola kerja transaksional.

Padahal yang saya harapkan, adalah sesuatu yang positif yaitu membuat semua bahagia, membuat semua nyaman, happy dan memberikan dampak positif dalam semangat beraktivits. Ah, semoga ini bukan sekadar pembelaan diri. Tapi sungguh, setiap apa yang saya lakukan, tidak ada satu pun yang memiliki niat buruk. Namun selurus apapun niat itu, saya merasa tidak semua pihak bisa menerima dengan baik. Hiks...sedih tiada tara.

Maka mulailah masalah masuk ke ranah rasa. Memang tidak mudah jika membahas masalah rasa. Tidak ada satu indikator pun yang bisa menjadi ukuran tentang rasa dan tidak mungkin membuat semua orang memiliki rasa yang sama.

Dan rasa adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Kejadian yang sama belum tentu dirasakan sama juga oleh semua orang, tergantung pengalaman dan latar belakangnya.

Trus bagaimana dong? Haruskan masih berharap orang lain memberikan feed back yang sama?  Ah, mungkin benar kata teman saya, bahwa saya masih berpegang pada pola kerja transaksional. Mengapa tidak mulai merubah pola saya, atau merubah target saya sehingga apapun yang saya terima atas kebaikan yang telah saya lakukan, tidak akan merubah dan melongsorkan semangat saya untuk terus melakukan kebaikan.

Do good, always good, for good...no matter what. Bismillah...




Wallahu'alam bishowab...

Kamis, 29 Juni 2017

Berdamai dengan kecewa

Bismillah...


Tuhan Dulu Pernah Aku Menagih SimpatiKepada Manusia Yang Alpa Jua ButaLalu Terheretlah Aku Dilorong GelisahLuka Hati Yang Berdarah Kini Jadi Kian Parah

Semalam Sudah Sampai KepenghujungnyaKisah Seribu Duka Ku Harap Sudah BerlaluTak Ingin Lagi Kuulangi KembaliGerak Dosa Yang Menghiris Hati
Tuhan Dosaku Menggunung TinggiTapi Rahmat-Mu Melangit LuasHarga Selautan SyukurkuHanyalah Setitis Nikmat-Mu Di Bumi
Tuhan Walau Taubat Sering KumungkirNamun Pengampunan-Mu Tak Pernah BertepiBila Selangkah Kurapat Pada-MuSeribu Langkah Kau Rapat Padaku
(Mengemis Kasih, Raihan)
Entah kenapa nasyid jadul yang akrab di telinga ketika masa-masa awal kuliah dulu kembali terlintas di benak dalam beberapa waktu terakhir. Seolah mengajak diri ini untuk menelaah lagi makna yang tersirat dari syair lagu tersebut. Makna yang tanpa disadari demikian dekat dengan keadaan yang belakangan memberikan warna dalam perjalanan diri.
Menjadi manusia yang sadar dengan ketidaksempurnaan tentunya menjadikan kita menjalani kodrat sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Namun seringkali, kelemahan itu menjadikan kita berharap kepada manusia, baik itu di lingkup terdekat kita pada keluarga, rekan-rekan kerja maupun masyarakat tempat tinggal kita.
Namun kadang, harapan yang kita terlalu berlebihan sehingga jika harapan tidak tercapai maka kita mudah untuk kecewa. Dan ketika kekecewaan bertumpuk dengan kekecewaan maka rasa sakit akan mendera. Keadaan akan semakin parah jika belum kering luka kecewa yang lama ditambah dengan rasa kecewa baru yang mendera. ow..ow..ow..sakitnya tuh di sini....
Nah, bagaimana supaya kita tidak mudah didera sakit karena kecewa?Resep yang paling ampuh adalah jangan terlalu berharap kepada manusia, gantungkan semua harapan hanya kepada Alloh SWT semata. Jika kita sudah melakukan usaha yang terbaik, maka pasrahkan semua hasil akhirnya kepada Alloh SWT. Senantiasa  berkhusnudzon bahwa apapun hasil akhir yang didapat, itulah yang terbaik dari Alloh karena Alloh tidak akan mengecewakan kita. Hasil akhir yang diberikan Alloh adalah yang terbaik untuk kita.
Lalu kepada sesama manusia, teruslah berbuat kebaikan meskipun kita dikecewakan. 
Terakhir, mengutip ungkapan Ust Ida Nur Laila dalam grup Parenting, yakinlah janji Allah, bahwa balasan kebaikan adalah kebaikan. Cepat atau lambat. Allah sesuai persangkaan hambanya. Allah tidak tidur dan tidak lupa. Jika orang lain enggan membalas kebaikanmu, mengabaikan dan mencibir, maka ingatlah Allah yang akan membalas. Tak perlu marah atau dendam. Tetap tersenyum dan bermuka cerah. Katakan kata-kata penduduk surga, kata-kata yang  mengandung keselamatan.
Ah...indahnya jika kita mampu berdamai dengan kecewa. Senantiasa menyandarkan diri bahwa Allohlah yang paling berkuasa atas segalanya.
5 syawal 1438 h29 juni 2017

Jumat, 23 Juni 2017

Power Syndrome

Bismillah...


Ini kisah berawal dari cerita seorang teman yang gemes dengan sebuah fenomena yang terjadi di lembaga tempat dia bekerja dimana terjadi pengunduran diri secara serempak yang dilakuan oleh rekan-rekan kerjanya karena ada kebijakan yang dirasa tidak pas yang ditetapkan untuk pemegang jabatan. Tidak enaknya lagi kebijakan tersebut ditetapkan sendiri oleh si pemegang kebijakan tersebut tanpa memperhatikan pendapat dari pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut. Dan yang lebih tidak menyenangkan lagi adalah keputusan tersebut bersifat mutlak alias tidak dapat diganggu gugat.



"Tidak adakah forum yang bisa digunakan untuk mendiskusikan keputusan tersebut," tanyaku waktu itu. Dia hanya menggeleng kecut. Jika hanya satu dua orang yang tidak setuju dengan keputusan ini mungkin bisa dimaklumi. Tapi lain halnya jika mayoritas tidak sepakat dan keputusan itu tetap dipaksakan. Tidak ada ruang untuk dilakukan syuro karena sang pengambil keputusan merasa bahwa kebijakan yang dia ambil sudah 100% benar dan dia merasa paling berhak mengambil keputusan tersebut karena dia yang memegang jabatan sehingg dialah yang berhak memutuskan, tanpa memerlukan pertimbangan dari orang lain.


Ketika mendapati tidak ada lagi ruang untuk melakukan diskusi, maka rombongan karyawan yang harus terkena dampak menjalankan keputusan tersebut merasa berat dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri alias resign dari posisi mereka. Lalu apa sikap sang pengambil kebijakan? Dengan tegas (atau arogan?) dia berkata,"Silakan saja mengundurkan diri, ada banyak orang di luar sana yang berminat menduduki posisi yang Anda tinggalkan."


Gambaran di atas hanyalah satu fenomena saja. Gambaran tentang seorang yang merasa memiliki power besar dan memiliki hak untuk mengambil keputusan tanpa memedulikan pendapat orang lain. Istilah kekiniannya EGP lah "emang gue pikirin." Tanpa mengecilkan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tersebut, alangkah enaknya jika sebelum keputusan tersebut ditetapkan ada proses syuro yang dilakukan sehingga setiap orang bisa menerima keputusan ini dengan legowo.


Hmmm...bagaimanapun memegang amanah bernama jabatan itu berat baik mengemban amanah tersebut dengan baik maupun mempertanggungjawabkannya. Berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang bisa menyebabkan sakit hati orang lain lebih utama dilakukan, lebih bijak serta menghindari gajala power syndrome, yaitu penyakit yang menjangkiti orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan. 


Nah, gejala apakah yang bisa dijadikan indikasi adanya power syndrome?

1. Merasa paling berkuasa
Jabatan memang menjadikan kita memiliki kekuasaan untuk memutuskan dan melakukan sesuatu. Namun hati-hati, jika rasa memiliki itu terlalu dominan bisa menjadikan kita besar kepala dan sok berkuasa.


2. Merasa paling berhak memutuskan

Bolehlah kita memiliki jabatan, namun tidak kemudian membuat kita "semena-mena" dalam mengambil keputusan dan tidak mempertimbangkan orang-orang yang terkena dampak keputusan tersebut untuk sekedar mengeluarkan isi hati dan mengutarakan pendapat mereka. Hal itu akan lebih "nguwongke" dibandingkan dengan mengambil keputusan sendiri karena merasa paling berhak memutuskan. Bahaya...


3. Merasa paling benar

Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan kita. Setinggi apapun jabatan  dan sebesar apapun kekuasan yang kita miliki selalu ada peluang untuk berbuat khilaf dan salah. Waspadalah. Dan jika kita sudah merasa paling benar sendiri, maka gejala power syndrome itu bisa jadi telah merasuki kita.


Yuks kita introspeksi diri. Selalu jaga hati dan senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh. Bukankan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap apa yang dia lakukan? 


Wallahu'alam bi showab...



23 juni 2017

h-1 menjelang ied 1438 h







Rabu, 14 Juni 2017

Ingin sehat, jangan lupa bahagia!!!

Bismillah...

Silaturahmi membawa banyak manfaat, salah satunya tentu bisa menambah ilmu. Nah, ulasan kali ini adalah ilmu yang saya dapat ketika bersilaturahmi bersama adik-adik dengan tema kesehatan muslimah. Sengaja dipilih silaturahmi karena targetnya menambah ilmu tentang kesehatan muslimah dan mempersiapkan masa depan bagi para calon bunda.

Nah, dari setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan hikmah kali ini adalah bisa mendapat pencerahan terkait kesehatan wanita. Dan pencerahan akan lebih terasa jika banyak orang yang mendapatkan manfaatnya maka untuk itulah saat ini saya berbagi.

Ternyata sehat tidak hanya meliputi satu unsur yaitu jasmani, tapi ada unsur lain yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Unsur tersebut antara lain:

1. Sehat jasmani
Salah satu indikator yang harus terpenuhi untuk sehat yang pasti adalah sehat jasmani, fisik. Sehat fisik ini harus menjadi perhatian para ibu dan calon ibu. Nah, bagaimana cara supaya sehat fisik? Kuncinya ada 3, yaitu cukup asupan gizi, olahraga teratur dan cukup istirahat.

2. Sehat ruhani
Tidak cukup sehat jasmani jika ruhaninya eror maka dia tidak sehat. Maka dari itu ruhani harus terjaga. Tidak stres karena stres akan menghasilkan hormon yang membuat kita semakin lelah dan tentunya berdampak pada kesehatan. Tidak hanya menghindari stres, guna menjaga kesehatan faktor penting yang harus dijaga dan dimunculkan adalah rasa bahagia. Ketika kita bahagia maka akan menghasilkan hormon endorphin yang bermanfaat meningkatkan nafsu makan, meningkatkan sistem imunitas tubuh, mengurangi rasa nyeri dan tidur lebih nyenyak. So, kalau ingin sehat maka benar kata orang, jangan lupa bahagia.

3. Sehat sosial
Manusia adalah makhluk sosial, tak terkecuali seorang wanita. Menjadi makhluk sosial bisa diartikan dia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa orang lain dan ternyata menjaga interaksi dan menjalin silaturahmi dengan orang lain itu bisa membuat kita lebih sehat. Maka jadilah makhluk sosial yang saling berhubungan dengan orang-orang di sekitar, jangan menjadi orang yang menyendiri dan terisolir dari lingkungan karena itu menyedihkan. Banyak berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan akan menjadikan kita sehat sosial dan melengkapi unsur sehat.

4. Sehat ekonomi
Salah satu unsur yang sering kali terlewatkan adalah sehat ekonomi. Ternyata untuk menjadi sehat tidak cukup hanya fisik dan psikis saja namun faktor ekonomi juga memegang peranan penting dalam menciptakan tubuh yang sehat. Kefakiran tentulah membawa dampak yang besar pada kesehatan. Jadi, jika ingin sehat maka perekonomian juga harus diperhatikan. Mencari rejeki yang halal dan menjadikan kita mapan bisa mendukung terwujudnya manusia yang sehat.

Mari, wujudkan pribadi yang sehat. Karena sehat akan memperkokoh kita dan Alloh mencintai hamba-Nya yang kuat.

Wallahu'alam bi showab

Rabu, 07 Desember 2016

Perjalanan Membela Kitab Suci

 Bismillah...
Masih segar dalam ingatan aksi damai yang dilakukan ummat Islam pada 212 di Monas. Ketika membaca postingan teman-teman yang bergabung dalam aksi itu, terasa sangat gelora dan semangat yang luar biasa. Misi mereka HANYA satu, tidak ada yang lain, yaitu membela Kitab Suci yang telah dinistakan dan dikatakan sebagai sebuah kebohongan. Al Quran adalah dari Alloh SWT yang selalu terjaga kebenaran dan kesuciannya, siapapun kita, rasanya tidak akan setuju jika kitab yang menjadi tuntutan hidup kita dikatakan sebagai sebuah kebohongan atau digunakan untuk alat membohongi. Jika suatu benda digunakan sebagai alat untuk membohongi, maka pastilah dianggap benda itu tidak benar atau tidak baik bukan? Lalu apakah kita akan tinggal diam jika sesuatu yangdianggap tidak baik itu adalah Al Quran? Relakah kita jika Kitab Suci dihinakan?

Rasa itulah yang menggelora di hati jutaan insan yang berkumpul di sekitar Monas saat itu. Rela melakukan pengorbanan untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada Al Quran. Lalu kita? Apa yang kita lakukan? Boro2 ikut membela, membacanya (Al Quran) saja hanya berkala kita lakukan. Kala2 iya, lebih banyak tidak, maka wajarlah jika kita sulit untuk merasakan semangat dan gelora kecintaan yang demikian besar. Bahkan ada dari kita yang sibuk bersuudzon bahkan memaki aksi damai tersebut atau efek yang ditimbulkannya (jalan ruwetlah, macet lah, dll). Tidak bisa menangkap agenda besar yang diperjuangkan dalam aksi itu, membela Al Quran, membela Islam. Sebuah perjalanan untuk membela Kitab Suci.

Dan aku, hanya sesekali merinding menyaksikan melalui media yang ada, termasuk membaca tulisan dari salah seorang yang tidak sengaja menyaksikan aksi damai ini :

Catatan Dr. Iswandi Syahputra (Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)......bagus 😭

Ada istilah baru “nyinyiers

Demi Allah... baru kali ini saya melihat aksi demo hingga menangis. Saya tidak kuat menahan rasa haru, bahagia, bangga, gembira, dan sedikit amarah semua berbaur menjadi satu.

Awalnya saya ke Jakarta untuk wawancara narasumber riset saya. Tapi sebuah penerbit juga mengusulkan saya menulis buku tentang aksi 411 dan 212, lebih kurang membahas 'Media Sosial dan Aksi Damai 411/212'. Karena kebetulan itu, saya bergerak hadir ke Monas pusat lokasi aksi 212.

Sambil menangis tersedu melihat aksi 212 saya telpon isteri untuk mengabarkan situasinya. Luar biasa, persatuan, kesatuan, kekompakan, persaudaraan, silaturrahmi umat Islam demikian nyata.

Pukul 07.00 WIB saya bergerak dari Cikini menuju Monas, ojeg yang saya tumpangi harus muter mencari jalan tikus. Semua jalan dan lorong mengarak ke Monas macet total. Perjalanan saya terhenti di Kwitang, dari Kwitang saya jalan kaki menuju Monas, hingga ke perempatan Sarinah. Saat sampai di Tugu Tani, dada saya mulai bergetar tak karuan. Seperti orang takjub tidak terkira. Umat Islam yang hadir saling mengingatkan untuk hati-hati, jangan injak taman, buang sampah pada tempatnya, segala jenis makanan sepanjang jalan gratis. Tidak ada caci maki seperti yang terjadi di sosial media. Saat itu sudah mulai perasaan berkecamuk, tapi masih bisa saya tahan.

Tepat di depan Kedubes AS, dada saya meledak menangis haru saat seorang kakek renta menawarkan saya buah Salak, gratis. Saya tanya, "Ini salak dari mana Kek?" "Saya beli sendiri dari tabungan", jawabnya. Saya hanya bisa terdiam dan terpaku menatapnya.

Di sebelahnya, ada juga seorang Ibu tua juga menawarkan makanan gratis yang dibungkus. Sepertinya mie atau nasi uduk. Bayangkan, Ibu itu pasti bangun lebih pagi untuk memasak makanan itu. Saya tanya, "Ini makanan Ibu masak sendiri?" "Iya," jawabnya. "Saya biasa jualan sarapan di Matraman, hari ini libur. Masakan saya gratis untuk peserta aksi". Masya Allah... Saya langsung lemes, mes, messss... Saya semakin lemes sebab obrolan kami disertai suara sayup orang berorasi dan gema suara takbir.

Da., sepanjang jalan yang saya lalui, saya menemukan semua keajaiban Aksi Super Damai 212. Pijat gratis, obat gratis, klinik gratis, makan dan minum gratis. Perasaan lain yang bikin saya merinding, tidak ada jarak dan batas antara umat Islam yang selama ini kena stigma sosial buatan mereka para nyinyiers dan haters sebagai 'Islam Jenggot', 'Islam Celana Komprang', 'Islam Kening Hitam', 'Islam Cadar', 'Islam Berjubah' dan stigma negatif lainnya. Semuanya bersatu dalam: Satu Islam, Satu Indonesia, dan Satu Manusia!

Sepanjang perjalanan, saya mendengar antara peserta bicara menggunakan bahasa daerah Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh, Minang bahkan ada juga yang berbahasa Tionghoa. Mungkin mereka saudara kita dari kalangan non muslim.
Melihat itu semua, 'saya menyerah', lagi-lagi saya menyerah!

Saya tidak kuasa menahan gejolak rasa yang bergemuruh dalam dada. Saya putuskan menepi, mencari kafe sekitar lokasi. Kebetelun saya punya sahabat baik yang pengelola "Sere Manis Resto dan Cafe". Lokasinya strategis, pas di pojok Jl. Sabang dan Jl. Kebon Sirih. Tidak jauh dari bunderan BI dan Monas. Saya putuskan menyendiri masuk cafe itu untuk memesan secangkir kopi dan menyaksikan semua peristiwa dari layar TV dan Gadget yang terkadang diacak timbul tenggelam kekuatan sinyalnya.

Tapi di Resto/Cafe 'Sere Manis' itu juga saya temui umat Islam berkumpul membludak. Rupanya mereka antri mau mengambil wudhu yang disiapkan pengelola restoran. Tidak cuma itu, saya menemukan ketakjuban lain. Di dalam resto/cafe saya bertemu teman baru, seorang Scooter yang tinggal di daerah Cinere. Dia dan teman-temannya memilih berjalan kaki dari Cinere ke Monas (sekitar 40 KM) untuk merasakan kebahagiaan para santri yang berjalan dari Ciamis ke Jakarta. Masya Allah.... Saya semakin sangat kecil rasanya dibanding mereka semua. Ini kisah dan kesaksian saya tentang Aksi Super Damai 212. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang seperti saya yang tidak terhitung atau tidak masuk dalam gambar aksi yang beredar luas. Kami orang yang lemah, tidak sekuat saudara kami yang berjalan kaki di Ciamis atau Cinere.

Maka, janganlah lagi menghina aksi ini. Apalagi jika hinaan itu keluar dari kepala seorang muslim terdidik. Tidak menjadi mulia dan terhormat Anda menghina aksi ini. Terbuat dari apa otak dan hati Anda hingga sangat ringan menghina aksi ini? Atau, apakah karena Anda mendapat beasiswa atau dana riset dari pihak tertentu kemudian dengan mudah menghina aksi ini?

Jika tidak setuju, cukuplah diam, kritik yang baik, atau curhatlah ke isteri Anda berdua. Jangan menyebar kebencian di ruang publik. Walau menyebar kebencian, saya tau kalian tidak mungkin dilaporkan umat Islam. Sebab umat Islam tau persis kemana hukum berpihak saat ini.

Terlepas ada kebencian dari para ‘nyinyiers’, saya bahagia bisa tidak sengaja ikut aksi damai 212 ini. Setidaknya saya bisa menularkan kisah dan semangat ini pada anak cucu saya sambil berkata: "Nak, saat kau bertanya ada dimana posisi Bapak saat aksi damai 2 Desember 2016? Bapak cuma buih dalam gelombang lautan umat Islam saat itu. Walau cuma buih, Bapak jelas ada pada posisi membela keimanan, keyakinan dan kesucian agama Islam. Jangan ragu dan takut untuk berpihak pada kebenaran yang kau yakini benar. Beriman itu harus dengan ilmu. Orang berilmu itu harus lebih berani. Dan mereka yang hadir atau mendukung aksi 212 adalah mereka yang beriman, berilmu dan berani. Maka jadilah kau mukmin yang berilmu dan pemberani anakku".

 DR Iswandi Syahputra
[Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta]

Tidak ada kata lain yang ingin kutuliskan dalam posting kali ini selain sebait doa: "Semoga Islam, agama yang menyelamatkan, bisa menjadi penyelamat seluruh ummat manusia. Dan semoga kita semua semakin dijaga keimanan kita, termotivasi untuk terus menambah amalan ibadah kita termasuk membaca Al Quran supaya kecintaan pada kitab suci bisa tumbuh pada diri kita, pada diriku dan dirimu. Iya....KAMU." (end)

Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya

     Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kanto...