Senin, 22 Oktober 2018

8 Point dalam Ta'aruf Sepanjang Masa



Bismillah...

Masih di Bulan Mei, di mana banyak cerita berawal di bulan ini, rasa-rasanya ingin sekali menulis kisah tentang kita. Bukan apa-apa, semata-mata sebagai sarana muhasabah, menyelami kehidupan yang sudah kita jalani bersama dengan berbagai dinamikanya.

Kisah kita tidak sama dengan kebanyakan orang yang saling mengenal terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah. Kalau kita, boro-boro cinta, mengenal saja hanya sebatas tahu sosok dan nama. Hanya satu yang kita jadikan modal awal untuk memasuki gerbang pernikahan yaitu keyakinanku padamu bahwa kau adalah laki-laki sholih dan keyakinanmu kepadaku bahwa aku adalah wanita sholihah (insya Alloh).

Yup, kita mengawalinya tanpa cinta, bahkan taaruf secara mendalam baru kita lakukan setelah ijab qobul diikrarkan. Itulah awal perjalanan rumah tangga kita. Hanya berbekal keyakinan kepada Alloh bahwa cinta itu akan tumbuh begitu janji suci itu diikrarkan. Ajaibnya itulah yang terjadi. Benik-benik itu muncul seiring dengan waktu interaksi yang kita bangun. Bisa jadi seperti kata pepatah jawa, witing tresno jalaran soko kulino.

Sungguh ketika itu keyakinan kami tinggi bahwa semua akan berjalan lancar tanpa ada kendala. Apakah demikian? Tentu saja tidak. Bohong ketika saya mengatakan taaruf dalam pernikahan kami sama sekali tidak ada kendala. Tapi apapun kendala itu, saya selalu ingat pesan ummi ketika melepas saya memasuki gerbang pernikahan. "Nok, dalam pernikahan selalu ada hal baru yang akan kau temukan dan selalu ada cobaan yang akan menguji kesungguhan dan keikhlasan kita. Dan lima tahun pertama adalah tahun-tahun yang berat, penuh penyesuaian. Jika kamu berhasil melewati lima tahun pertama maka akan lebih mudah bagimu menjalani tahun-tahun berikutnya." Wejangan ummi begitu membekas dalam ingatan dan benar-benar menjadi pegangan.

Jangankan menikah dengan orang yang baru dikenal, menjalani magligai dengan pacar yang sudah berkomitmen (pacaran) selama puluhan tahun pun tidak menjamin nahkoda itu akan terus berlayar dan tidak karam.

Maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai upaya dalam menjalankan proses taaruf dengan pasangan:

1. Buka pintu untuk memahami
Setiap individu adalah spesial dan tidak pernah sama, meski dia kembar siam sekalipun. Maka wajar jika dua individu yang bersatu dalam pernikahan itu memiliki perbedaan. Bagaimana pun, Anda dan pasangan dibesarkan dengan latar belakang berbeda sehingga jika ada perbedaan adalah hal yang biasa. Berbeda kebiasaan, berbeda cara pandang, berbeda tutur kata bahkan berbeda kesukaan. Untuk menghadapi perbedaan, kuncinya hanya satu, memahami. Buka pintu dan berikan ruang yang luas untuk memahami dan mau belajar memahami setiap perbedaan yang muncul. Mengenal pasangan kita berarti menyiapkan diri untuk memahami apa adanya dia.

2. Buka hati untuk ketidaksempurnaan
Sebagaimana perbedaan, maka tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah semata. So, buka hati seluas-luasnya untuk ketidaksempurnaan. Ada satu strategi supaya tidak mudah jatuh pada kekecewaan yang mendalam, yaitu jangan terlalu membayangkan figur yang sempurna pada pasangan. Ingat, menerima ketidaksempurnaan adalah upaya juga untuk mengenal pasangan kita dan menerima dia seutuhnya dalam ketidaksempunaan yang ada.

3. Buka hati untuk memaafkan
Pun tidak ada satupun orang yang luput dari kesalahan. Fahami itu. Laksana Rasul bersabda, "al insanu mahallul khoto wannisyani." Yup, betul sekali, manusia itu tempatnya salah dan lupa. Manusia bukanlah malaikat yang tidak punya nafsu, demikian pula pasangan hidup kita. Kali-kali ada kesalahan yang dibuat, maklumi saja. Ahai...serasa mudah ya menulisnya namun susah menjalankannya. Tapi percayalah, memiliki hati yang mudah memaafkan akan lebih memudahkan perjalanan pernikahan Anda. Perlu belajar dan terus belajar untuk bisa memaafkan. Asalkan kesalahan itu tidak fatal dan membuat kita sesat, maka perlu diberikan ruang untuk pintu maaf. Untuk yang satu ini asli berat, tapi perlu dicoba demi kelanggengan biduk kita.

4. Aja kagetan aja gumunan
Pernah dengar ungkapan dalam bahasa jawa yang mengatakan "dadi wong jawa ki aja kagetan aja gumunan" alias jadi orang tidak tidak boleh gampang kaget dan gampang terkagum-kagum. Artinya, dunia ini dinamis dan kondisi terus berubah, kesiapan kita menerima perubahan yang terjadi akan membuat kita mudah menyesuaikan diri. Demikian juga dalam kehidupan rumah tangga. Hal-hal baru pasti akan kita temui sepanjang proses taaruf kita, bahkan hal baru yang di luar dugaan kita. Maka siapkan diri Anda untuk menerima segala kemungkinan tersebut.

5. Fokus pada tujuan yang kekal
Keluarga adalah surga dunia. Memiliki keluarga yang bahagia adalah kenikmatan yang ingin didapat semua orang karena dengan begitu kita bisa nyicil merasakan indahnya surga. Tapi ingat, bahwa segala apa yang ada di dunia adalah sementara dan surga yang sesungguhnya ada di akhirat kelak. Jadi, ketika kebahagiaan di dunia adalah tujuan akhir kita, maka sebagaimana sifat dunia, kebahagiaan itu akan bersifat sementara. Lalu bagaimana jika menginginkan kebahagiaan yang kekal? Maka fokuslah pada tujuan yang kekal pula itu "the real jannah." Jika kita fokus pada tujuan yang kekal yaitu surga-Nya, insya Allah kekuatan untuk memperjuangkan tujuan itu akan semakin kuat. Apabila yang kita perjuangkan hanya dunia, maka jika alasan yang kita perjuangkan tersebut hilang maka mudah pula bagi kita untuk menyerah seiring dengan hilangnya tujuan tersebut. Proses taaruf kita juga sama. Tetapkan bahwa kita ingin menjadi keluarga tidak hanya di dunia namun juga surga, maka proses taaruf masih panjang dan paling tidak tujuan kita kekal dan layak untuk diperjuangkan.

6, 7 dan 8. Doa, doa dan Doa.
Ketika segala upaya yang kita lakukan sudah maksimal, jangan lupakan satu kata tempat kita menggantungkan segalanya, yaitu DOA. Bisa jadi, ketika segala pertolongan sudah tidak bisa kita dapatkan, satu-satunya yang bisa menolong kita adalah DOA yang kita panjatkan kepada Allah SWT. Itulah sebabnya mengapa pula DOA spesial mendapatkan tiga point karena di balik semua ikhtiar yang kita lakukan, jangan pernah melupakan DOA.

Nah, meski pernikahan kita sudah berlangsung puluhan tahun bukan berarti proses taaruf kita selesai. Proses akan terus berlanjut sepanjang usia kita dan semoga Alloh mengumpulkan kembali bersama keluarga kita di surga-Nya.

Semoga proses taaruf kita dengan pasangan resmi kita bisa terus berjalan lancar. Tidak seperti posting tulisan ini yang inspirasi awal muncul di bulan Mei namun penyelesaiannya butuh waktu lamaaa hingga baru bisa tayang di bulan Oktober. Olala....

^22 Oktober 2018^

Rabu, 10 Oktober 2018

"Customer is NOT a king anymore"

Beberapa waktu lalu menghadiri undangan Temu Relasi dari Bank Indonesia dan salah satu acaranya cukup keren yaitu motivasi tenang service excellent dari coach Tjia Irawan. Salah satu hal yang disampaikan Tjia membantah asumsi yang selama ini banyak dipahami orang sebagai kunci pelayanan yaitu customer adalah raja. Menurut Tjia, adalah salah menempatkan klien sebagai raja karena kita bukanlah budaknya.

"Menurut saya, tidak tepat jika kita masih menganggap bahwa pelanggan  adalah raja. Customer is not a king, because we are not a slave," ujat Tjia. Memang dari sisi definisi, servis dari bahasa latin servitium dari kata slave aka budak. Namun melakukan fungsi pelayanan bukan berarti nemempatkan diri kita pada posisi budak. 

Menempatkan konsumen pada posisi raja, berarti memberikan pelayanan maksimal kepadanya tanpa mengharapkan feed back darinya, bahkan tidak ada kewajiban darinya untuk membayar.

Lalu siapakah konsumen itu? Menurut Tjia, konsumen adalah seseorang yang membutuhkan bantuan kita untuk menyelesaikan masalah mereka. "Maka kita hadir bukan sebagai pelayanan namun sebagai teman yang bisa memberikan mereka saran atas permasalahan yang mereka hadapi."

Tjia juga mengatakan ada enam tingkatan dalam servis, yaitu:

1. Criminal, yaitu memberikan layanan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Misal: janji memberikan bonus ternyata bonus tidak diberikan.

2. Basic, yaitu layanan yang diberikan berada di bawah standar atau yang diharapkan. Misal : pesan makanan di restoran datangnya lama atau rasanya tidak enak.

3. Expected, yaitu layanan yang akan diterima sudah dapat diduga sebelumnya, standar, tidak ada yang spesial.

4. Desire, yaitu layanan yang diberikan melampaui harapan costumer. Misal: klien ultah dikasih kado.

5. Surprising, yaitu layanan yang diterima benar-benar melampaui apa yang diharapkan dan disampaikan dengan kejutan yang menyenangkan.
Untuk layanan yang satu ini dicontohkan kisah penumpang yang bajunya ketumpahan teh, tidak hanya mendapat permintaan maaf dari pramugari tapi juga seluruh awak pesawat dan mendapat ganti tiket penerbangan.

6. Unbelievable, yaitu layanan yang diberikan selalu di luar dugaan dan mengejutkan.
Untuk layanan yang satu ini dicontohkan maskapai penerbangan yang bisa menunda penerbangan dikarenakan menunggu penumpang yang ingin menemui ibunya yang sedang dalam kondisi kritis.

So...ditingkat mana pelayanan yang sudah kita berikan? Evaluasi di tangan kita masing-masing.[]The End






Selasa, 08 Mei 2018

17 Tahun Muhasabah Cinta


Bismillah...

Mei selalu menjadi sesuatu buatku karena paling banyak moment penting terjadi di bulan ini, termasuk moment bersejarah ketika separuh dien ini tergenapkan. Sebuah peristiwa besar yang terjadi di luar rencana dan bisa terjadi semata karena skenario Alloh yang luar biasa. Skenario yang tetap menjadi misteri hingga peristiwa itu terjadi. Kali ini, bertepatan dengan muhasabah cintaku ke 17 kisah itu akan kututurkan.

Sama sekali tidak menduga hari itu akan terjadi peristiwa yang meluluhkan hati, menguji sebuah niatan hanya untuk Alloh semata. Ketika ikhtiar yang selama ini diusahakan, tiba-tiba mendapatkan jawaban dari Alloh dengan jalan yang tidak terduga-duga.

Yap, hari itu, rombongan keluarga (calon) suami datang ke rumah dengan tujuan untuk melakukan khitbah (lamaran) dan melakukan musyawarah rembug tuwo. Sekian waktu berjalan, pembicaraan masih terus berputar tanpa menemukan titik temu tentang kapan akad nikah dan tasyakuran akan dilaksanakan. 

Ketika masih saling menimbang, tiba-tiba abah (panggilan saya untuk kakek) menanyakan satu pertanyaan yang tidak pernah diduga namun menjadi jawaban atas semuanya. "Kalau menikah sekarang, apakah kamu siap?" Entah mendapatkan kekuatan dari mana, segera (calon) suami menjawabnya dengan satu kata, "SIAP."

Aku sendiri tidak bisa menggambarkan perasaanku saat itu yang bercampur aduk jadi satu, antara takut, kaget, bingung dan ragu. Serta merta, kuambil hp dan berlari ke belakang rumah untuk menelpon guruku. Lagi-lagi, jawaban yang kudapatkan atas kegalauan hatiku kembali di luar dugaan. "Alhamdulillah, mungkin ini jawaban Alloh atas doa-doa selama ini dengan dimudahkan dan disegerakan prosesnya," ujar beliau yang membuat hati ini mantap kembali ke ruang keluarga tempat rembug tuwo diadakan dan memberikan jawaban, "YES, I DO."

Maka terjadilah peristiwa itu. Sebuah prosesi pelafalan janji suci berlangsung dengan syahdu dan penuh keharuan. Hanya berjarak dua pekan dari pertama kali proses taaruf. Tidak ada satupun yang mampu kulakukan kecuali sujud syukur dengan linangan air mata. Pun ketika bersimpuh, sungkem kepada orangtua. Doa-doa mereka semakin meyakinkan hati, ini adalah jalan yang diridhoi-Nya. 

Kini suamiku, 17 tahun sudah berlalu, dengan anugerah empat amanah yang mengisi hari-hari kita. Warna-warni dilalui bersama. Ada suka, ada duka. Ada tawa dan air mata. Ada sedih dan bahagia, semua adalah keniscayaan hidup. Semoga sakinah, mawaddah wa rahmah senantiasa dilimpahkan Alloh dalam perjuangan kita mengokohkan bangunan cinta setiap detiknya. 

Janji suci yang sudah terikrar berpuluh tahun yang lalu, selalu kumohonkan kepadaMu dan doa robithoh yang tak henti kupanjatkan kepada-Mu. "Ya Alloh, kuatkanlah ikatan kesatuannya, kekalkanlah kecintaanya, tunjukilah jalannya, penuhilah ia dengan cahaya-Mu yang tidak pernah redup. Lapangkanlah dadanya dengan pancaran iman kepada-Mu dan tawakal yang baik kepada-Mu."

Dan dari semua hal istimewa yang telah kita lalui bersama, hanya satu kalimat yang terus terlintas di tahun ini; "Maka nikmat Alloh manakah yang kamu dustakan?"

*07 Mei 2001 - 07 Mei 2018*

Selasa, 24 April 2018

Membentuk Karakter Anak melalui Kajian Parenting PKK RT


Di ruang tamu yang mungil dan bersih, beberapa ibu muda menyimak dengan tekun pemaparan seorang pembicara, yang juga perempuan. Bertempat di kediaman Wurry Mahardika, Minggu (21/1/2018) mereka berkumpul untuk melakukan kegiatan Kajian Parenting yang pertama dengan tema Mendidik Anak Jaman Now. Nara sumber yang diundang adalah  Direktur Griya Parenting Solo Farida Nuraini.
Di ruang keluarga, tepat di belakang ruang tamu, beberapa anak asyik dengan mainannya sambil menikmati makanan kecil.  Nyonya rumah sengaja menyediakan mainan dan makanan kecil untuk anak-anak agar mereka tenang sambil menunggu ibu mereka menimba ilmu. Namanya juga anak-anak yang masih berusia balita dan Sekolah Dasar (SD), sesekali mereka rebutan mainan sesama temannya dan ibunya pun menenangkannya. Atau mereka minta diantar pipis dan ibunya pun rehat sejenak untuk mengantar sang buah hati ke kamar kecil. Para ibu itu adalah anggota dari Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Rukun Tetangga (RT) 04, Rukun Warga (RW) 07 Bulak Indah Kelurahan Karangasem, Kecamatan Laweyan Surakarta. Kajian Parenting merupakan salah satu program kerja Pengurus PKK RT 04 yang diketuai oleh Intan Nurlaili.  Kajian Parenting ditujukan untuk Ibu-ibu muda (Bunda jaman now), guna memberikan bekal kepada mereka dalam mendidik anak-anak. Meski ditujukan untuk Bunda jaman now, kegiatan Kajian Parenting juga melibatkan Ibu-ibu PKK yang berusia lebih tua, untuk menggali pengalaman dari Ibu yang lebih senior.

“Anak adalah titipan Tuhan. Orangtua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kajian Parenting sangat penting bagi orangtua karena program ini merupakan sekolah bagi orangtua agar orangtua pandai dalam mengasuh, mendidik sang buah hati. Bagaimanapun, Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya,” papar Intan Nurlaili, ibu empat anak yang juga karyaweti radio swasta terkenal di Solo.

Kajian Parenting pertama dipandu oleh Intan Nurlaili dan dihadiri oleh Rina Isnaini, Anik Hidayati, Herlinda, Dewi Kania, Yuni Sri Dianingrum, Rachma Herlina, Dwi Ramadhani, Weni Indrariadi juga nyonya rumah Wurry Mahardika. Acara berlangsung santai tapi serius, diselingi tanya jawab dan diskusi. Meski kadang “terganggu” oleh anak-anak mereka, tapi para Ibu tetap fokus dan mengikuti kegiatan hingga rampung.

Dalam pemaparannya, Farida Nuraini menjelaskan mendidik anak jaman now berbeda dengan pola asuh orangtua jaman dulu. Mengingat telah terjadi pergeseran pola hidup dan ekonomi besar-besaran, ditunjang dengan teknologi canggih yang serba cepat dan mengglobal. Perlu upaya keras dari orangtua untuk mendidik anak menjadi anak mandiri, tangguh, bisa berkarya, kuat dan survive.“Mendidik anak jaman now, tidak sekedar menjadikan anak yang taat dan penurut saja, tapi menjadi anak yang mandiri. Kalau sekedar menjadi anak yang taat, mereka hanya sekedar menuruti keinginan orangtua saja dan hanya menjadi penurut di hadapan kita. Lebih dari itu, kita harus menggali potensi, bakat dan minat anak. Tugas orangtua mengembangkan bakat anak tersebut, walau kadang-kadang tidak langsung kelihatan,”ujar Farida yang juga Ketua PKK RW 2 Karangasem.

Menurutnya, waktu yang paling tepat membentuk seorang anak adalah ketika masih kecil. “Usia anak Ibu berapa?,” tanya Farida kepada salah satu Ibu yang hadir.“Anak saya berumur 13 tahun dan delapan tahun,” jawab Rina Isnaini, Ibu berputra dua, Dika dan Raya, yang berusia 41 tahun ini.“Njenengan masih punya banyak waktu untuk membentuk anaknya. Saat ini waktu yang tepat untuk mendidik anak. Masih ada waktu sampai mereka berusia 18 tahun untuk mendidik mereka. Persiapkan anak-anak agar menjadi anak yang tangguh di masa depan ,” jelasnya.

Farida yang juga Kepala Sekolah SD Al Abidin Surakarta memaparkan, manusia mempunyai karakter yang sudah jadi pada usia 18 – 20 tahun. Waktu kecil inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orangtua untuk membentuk mereka. Kalau sudah terlambat, akan lebih sulit. Walaupun masih bisa, namun membutuhkan energi yang lebih banyak. Ibarat kayu yang sudah tua, ketika ditekuk, akan mudah patah. Berbeda dengan kayu yang masih muda, tidak mudah patah dan bisa dibentuk sesuai keinginan.

Dia mengingatkan kepada orangtua untuk tidak memendekkan mimpi anak-anak. Bangun mimpi anak sejak sekarang agar pola pikirnya menjadi besar, besar dan besar. Orangtua harus jeli menggali potensi, bakat dan minat anak. Kalau sudah ditemukan bakatnya, tinggal mengarahkan dan mengembangkan. “Jangan menghalang-halangi minat anak dengan alasan repot. Lihatlah, apa yang mereka sukai, yang paling banyak menyita waktu mereka. Kesukaan anak masih sering berubah-ubah, ikuti saja dan arahkan. Ada juga yang baru kelihatan saat usia SMA,”tandasnya.

Pada jaman yang sudah mengglobal degan informasi dan teknologi yang canggih, anak-anak harus diarahkan ke wawasan yang lebih luas, mengarah ke internasional. Jika ingin anak sukses dan karya mereka dilihat dunia, kata Farida karya anak harus di-online-kan.

Silaturahmi tetangga 

Masih berkaitan dengan kegiatan Kajian Parenting, pada kesempatan yang lain, Bunda jaman now berkunjung dan bersilaturahmi ke rumah tetangga yang lebih senior. Tentu saja, mereka ingin menggali ilmu dan pengalaman kepada ibu rumah tangga yang lebih berpengalaman dalam mendidik anak-anak. Kali ini mereka berkunjung ke keluarga Suprapto (57 tahun) dan Nanik Supriyanti (52 tahun).

Pasangan yang sama-sama berprofesi sebagai guru ini dikarunia tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Anak pertama, Praditya Mukti Ali, sudah bekerja di Badan Pertanahan Nasional Yogyakarta. Anak kedua Pranindya Fatimah Zahra mahasiswi Akuntansi Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). Dan anak terakhir, Praziztya Murtadha Muthahari, siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Surakarta kelas 9.

Sama seperti suasana di rumah Wurry Mahardika, para Ibu mengajak anak-anak dan mereka bermain di teras rumah. Ketika hujan turun, beberapa anak bermain hujan-hujanan. Anak-anak sengaja diajak agar bersosialisasi, kenal dan akrab dengan anak tetangga. Jika tidak dibiasakan demikian, anak-anak ini tidak mengenal teman dari tetangga sendiri karena keseharian mereka sudah disibukkan dengan kegiatan sekolah, juga ada yang full day school. Tidak setiap hari mereka bisa bertemu dan bermain dengan tetangga sendiri karena jarak rumah satu dengan rumah lain di wilayah RT 04 cukup berjauhan.

Nanik membagikan pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya. Tema yang dipilih dalam Kajian Parenting kali ini adalah Menumbuhkan dan menanamkan kebiasaan positif pada anak. Silaturahmi berlangsung Minggu (18/3/2018). Meski sore itu cuaca mendung, tidak menyurutkan semangat para Bunda jaman now untuk menggali ilmu.

“Dasar utama kami mendidik anak adalah berdasarkan agama. Anak kita bukan milik kita. Mereka adalah titipan Allah. Dan kita harus mempertanggungjawabkan di hadapan Allah nanti,” tegas Nanik.

Yang harus diperhatikan dalam menanamkan kebiasaan positif pada anak adalah dengan memberi contoh, suri tauladan yang baik dari orangtuanya. Untuk itu, orangtua dituntut menjaga sikap yang baik secara terus menerus dan konsisten. Perintah atau menyuruh dalam bentuk lisan, tidaklah cukup untuk membiasakan perilaku baik pada anak, tanpa contoh nyata dari orangtuanya.

“Contohnya, kita mengajak anak untuk mengerjakan sholat. Tidak bisa, kita menyuruh anak sholat, sementara kita masih melanjutkan cuci baju. Ketika kita ajak anak untuk sholat, ya kita sudah siap untuk melakukan sholat. Menanamkan kebiasaan positif itu sebenarnya mudah, jika sejak kecil dididik dengan melihat contoh langsung dari orangtuanya,” katanya.

Pengajar di SMA Negeri 7 Surakarta ini menekankan, kedua orangtua harus kompak dan satu suara dalam mendidik anak-anak. Misalnya dalam menghadapi permintaan anak. Sudah lazim jika anak menuntut berbagai permintaan sesuai keinginan mereka. Orangtua harus selektif dalam menuruti permintaan anak dan tidak semua keinginan bisa dituruti. Di sinilah butuh kekompakan dari kedua orangtuanya. Ketika orangtua merasa ada anaknya yang menginginkan sesuatu, kedua orangtua sebaiknya mendiskusikan terlebih dahulu, apakah keinginan anak ini akan dituruti atau tidak. Jika sepakat dituruti, ayah dan ibunya harus satu suara meluluskan. Jika tidak, maka keduanya harus kompak untuk tidak memberikannya.

“Kalau anaknya minta pada ayahnya dan tidak dituruti, lalu merengek ke ibunya, maka ibunya juga jangan menuruti. Kalau sampai salah satu menuruti, si anak akan menempel terus pada ayah atau ibunya yang menuruti itu. Ini tidak baik dalam perkembangan anak,” jelasnya.

Dalam kehidupan bertetangga, pasangan Suprapto – Nanik mengajarkan anak-anaknya untuk berlaku sopan santun, menghargai dan ramah kepada tetangganya. Contohnya, ketika sedang berjalan dan melewati rumah tetangga yang saat itu ada pemiliknya, diajarkan untuk menyapa dan permisi kepada tetangganya itu. Atau jika ada tetangga atau  orang lain yang dikenal lewat di depan rumah, disapa atau diberikan senyuman.

Menghadapi serbuan tehnologi dan komunikasi saat ini, pasangan ini menanamkan keterbukaan pada anak-anak. Mereka diberikan handphone (HP) ketika usia mereka sudah cukup untuk bisa mempergunakan HP dan bertanggung jawab terhadap HP yang dimilikinya. Anak-anak diberikan HP ketika sudah duduk di bangku sekolah menengah pertama. Ketika berkumpul di rumah, semua HP, baik milik orangtua maupun anak-anak dikumpulkan di satu tempat dan tidak boleh dibawa ke kamar. Orangtua boleh melihat isi HP anaknya dan anak-anak juga diperbolehkan melihat isi HP orangtuanya. Ketika ada salah satu HP bordering, yang mengangkat boleh siapa saja. Sehingga orangtua mengetahui dan bisa memantau kegiatan anak-anaknya.

“Saya tidak memperbolehkan anak-anak bawa HP ke kamar, lalu asyik bermain HP sendiri. Kita seharian sibuk dengan urusan masing-masing. Jangan sampai ketika berkumpul, semua asyik bermain dengan HPnya sendiri-sendiri. Kalau lagi kumpul di rumah, kita bercanda, bertukar cerita di ruang keluarga. Kalau sudah ngantuk, baru masuk ke kamar masing-masing untuk tidur,” katanya. 

Kajian Parenting, Selaras dengan Tujuan PKK

Kajian Parenting yang digagas oleh Intan Nurlaili juga bertujuan untuk menarik Bunda jaman now agar ikut berperan serta dalam kegiatan PKK. Pengurus PKK dituntut jeli dan mencari program kerja yang dibutuhkan dan disukai oleh Bunda jaman now. Pertemuan yang diselenggerakan rutin setiap bulan, tidak sekedar diisi dengan kegiatan kumpul-kumpul, arisan dan makan-makan. Namun  juga diisi dengan berbagai kegiatan yang membawa manfaat, termasuk memberikan bekal kepada para Ibu dalam mendidik anak-anaknya. Waktu kegiatan Kajian Parenting dipilih pada hari Minggu, yang diharapkan bisa dihadiri para bunda ini.

Hal ini sejalan dengan tujuan PKK, yaitu terwujudnya keluarga yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Dari keluargalah, diharapkan tumbuh generasi berakhlak mulia dan berbudi luhur dengan harapan menjadi keluarga sehat sejahtera, maju dan mandiri. Ketika semua sudah tertata dengan baik, diharapkan juga timbul kesetaraan dan keadilan gender dengan memahami tugas masing-masing anggota keluarga. Dengan demikian, akan timbul kesadaran hukum dan lingkungan. Keluarga adalah bentuk negara yang paling kecil. Jika negara paling kecil ini sudah tertata dengan baik, diharapkan terwujudnya Negara Republik Indonesia yang lebih baik.

Bagi Wurry Mahardika (34 tahun), ibunda tiga anak, yaitu Zahra (10 tahun), Raihan (tujuh tahun) dan Ashma (tujuh bulan) ini, Kajian Parenting yang diselenggarakan PKK RT 04 ini penting dan perlu baginya. Sebab, dalam seni mendidik anak, lingkungan sekitar juga memegang peranan yang sangat penting guna terciptanya peradaban yang baik, terutama di lingkungan rumah.

“Kami yang muda-muda ini masih fakir ilmu dan sangat membutuhkan ngangsu kawruh kepada Ibu yang lebih senior. Kita butuh sharing pengalaman dari Ibu-ibu senior yang sudah lebih banyak merasakan asam garam dalam mendidik anak,” ujar istri dari Andrea Hermawan ini.

Senada dengan Wurry, Dewi Kania, Ibu seorang putra, bernama Abyas berusia tujuh tahun ini merasakan manfaatnya mengikuti kegiatan Kajian Parenting RT 04. Hal ini melengkapi Kajian Parenting yang juga secara rutin diikutinya di tempat anaknya menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak.

“Kegiatan parenting di RT bagus banget, melengkapi kajian parenting sekolah anak. Selain menambah ilmu, juga mempererat hubungan dengan tetangga. Manfaat pasti ada, tapi mungkin belum terasa signifikan karena implementasinya juga belum bisa saya terapkan dengan maksimal, ujar Kania, karyawati di Rumah Sakit Paru-paru Surakarta ini.#
Ibu-ibu anggota PKK RT 04 RW VII.
Nb. Tulisan ini adalah penggalan karya dari Sri Mustokoweni, salah satu kader PKK RT 04 RW VII yang luar biasa dan berhasil menang Juara III pada Lomba Jurnalistik PKK tingkat Jawa Tengah.Semua kisah yang ditulisnya adalah kegiatan yang kami jalankan dan masuk dalam program kerja di rt kami. Semoga hal-hal kecil yang kita lakukan di lingkungan kita bisa memberikan manfaat dan inspirasi kebaikan untuk sesama. Aamiiin.***


Senin, 26 Maret 2018

KLA itu.... Keluarga Layak Anak

Bismillah...

Alkisah, hari itu kita jalan-jalan ke Taman Balekambang, kebetulan pas jadwalnya kakak khilya pulang pondok, maka bolehlah pagi itu kita ingin refresh bersama. Apalagi di Balekambang pas ada event Festival Buah, kalau lihat dari foto-foto yang dishare teman-teman sepertinya sangat menggiurkan. Sambil refresh, itung-itung sekalian hunting buah. Eh tapi bukan itu tema yang kali ini ingin dibahas, hanya prolog saja karena inti dari tema kali ini jauh lebih penting jika dibandingkan dengan hunting buah.

Apakah itu, kita lanjutkan kisahnya ya. Harapan bisa hunting buah ternyata hanya sebatas harapan. Hari itu Balekembang sangat ramai dengan ribuan pengunjung sehingga, bagi saya, merasa tidak begitu nyaman. Maka dikuburlah harapan awal dan dibelokkan pada upaya untuk mengajak anak-anak bersenang-senang, salah satunya dengan menuruti keinginan si kecil bermain di arena balon, naik kereta dan memancing di kolam pancing ikan plastik.

Nah, ada kisah yang menyedihkan nih ketika sedang berada di arena memancing dan menggelitik saya untuk menuliskannya di sini. Ketika sedang menunggu Aji dan kakaknya memancing, datangkan satu keluarga ke arena yang sama dengan kami. Ada ayah, ibu dan 2 orang anak, yang satu usia sekitar 6 tahun dan yang kecil masih sekitar 1 tahun.

Ketika mendekat di arena kami, si ibu sibuk mencarikan anaknya yang kecil tempat untuk memancing. "Ayo dik duduk sini sayang," kata ibunya dengan penuh kasih sayang. 

Awalnya saya tidak terlalu memperhatikan sampai ada satu kalimah yang terucap dari lisan sang ibu dengan nada jengkel. "Kakak...ada apa sih, kalau pengen sesuatu itu ngomong dong, kalau cuma diam gitu mana bunda tahu. Bunda nggak suka kalau seperti itu," ujarnya. Setelah itu perhatian sang bunda kembali tertuju pada sang adik saja.

Jujur, mungkin hal yang sama pernah juga kita lakukan ketika ingin tahu apa yang diinginkan oleh anak kita tapi dia diam seribu bahasa. Iya khan...Target kita adalah supaya anak  berani menyampaikan keinginannya dengan barucap. Si anak mungkin butuh membangun keberanian dan kepercayaan dirinya untuk menyampaikan keinginannya, apakah yang dia inginkan cukup berharga untuk didengarkan, apakah yang dia pikirkan cukup bernilai untuk dihargai?
Dan ketika dia berani berucap, berarti dia sudah berjuang mengalahkan ketakutannya dan apapun yang dia katakan patut mendapat apresiasi. Setidaknya itu yang saya fahami sebagai upaya untuk menghargai anak, sebagai upaya untuk menempatkan anak sebagai pribadi yang memiliki harga diri.

Namun sayangnya kejadian selanjutnya membuat pilu tatkala sang ayah turut ambil andil saat si kakak tak kunjung juga bersuara.
"Ayo kak ngomong dong, kakak mau apa?" tanya sang ayah dengan lembut. Hal itu rupanya menumbuhkan keberanian sang kakak yang akhirnya memberanikan diri untuk berbisik kepada ayahnya.

Saya tidak mendengar apa yang dibisikkan anak itu tapi dari respon yang diberikan ayahnya saya menjadi tahu apa keinginan yang dari tadi dipendamnya. Respon yang membaut pilu hati saya, membuat saya berempati pada anak itu. Nah, apa sih responnya?

Serta merta si ayah berkata dengan sinisnya tapi masih mencoba membalutkan dengan kata-kata lembut, "Oh...jadi kakak ingin memancing, gapapa ayo sini memancing sama adik, kakak khan masih bayi ya. Ini lho dik, kakak masih bayi ingin memancing."

Disayat sembilu

Mendengar kata-kata itu menjadikan hati ini disayat sembilu. Betapa tidak, saya yakin sang kakak pasti sudah mengumpulkan keberaniannya untuk menyatakan apa yang dia inginkan. Namun setelah dia berhasil menaklukkan ketakutan tersebut, tiba-tiba harus menghadapi respon yang menjatuhkan harga dirinya.

Mendengar komentar sang ayah tadi, kakak dengan ragu-ragu mengambil pancing yang ada di depannya dan masih berniat untuk mewujudkan keinginanya meski harga dirinya telah dilukai karena dikatakan sebagai bayi. Tapi lagi-lagi, melihat kakak tetap bersikukuh ingin memancing, sang ayah seperti tidak ikhlas dan serta merta membisikkan kata-kata ke telinga kecilnya dengan suara yang cukup jelas terdengar oleh saya. Kata-kata penekanan lebih dalam lagi dari sebelumnya. "Kakak khan masih bayi ya mau main pancing. Kakak masih bayi...." ujarnya dengan nada mengejek.

Kata-kata itu lengkap dengan intonasinya cukup memberikan gambaran kepada saya bahwa  si ayah ingin kembali menekankan menekankan bahwa memancing tidak layak dilakukan oleh sang kakak jika dia tidak ingin dikatakan sebagai BAYI.

Anda bisa membayangkan bagaimana perasaan sang kakak waktu itu? Seorang anak yang ingin dihargai posisinya sebagai kakak tapi dihancurkan harga dirinya dengan memberinya lebel bayi. Maka demi mempertahankan harga diri, setidaknya di mata orangtuanya, dengan raut muka murung, perlahan dia meletakkan kembali pancing yang sudah di tangannya dan menjauh dari arena.

Melihat apa yang dilakukan anak itu, sang ayah terlihat tersenyum puas karena target tercapai. Memang, si kakak akhirnya tidak bermain pancing untuk mempertahankan harga dirinya. Tapi saya sungguh tidak habis pikir,  apa yang salah dengan bermain pancing bagi seorang anak berusia sekitar 6 tahun. Bukankah melarangnya bermain berarti menghalangi anak untuk mendapatkan haknya? Hak untuk bermain, bereksplorasi, bergembira dan dihargai.

Saya tidak tahu apa alasan sang ayah melarang anaknya bermain pancing. Tapi apapun alasannya, dengan kata-kata dan lebel yang (mungkin) diucapkan sang ayah tanpa rencana, secara tidak sadar telah membuat luka pada hati anaknya. Luka karena tidak dihargai keinginan, pendapat dan harga dirinya untuk satu hal yang sangat logis dilakukan anak-anak. Bisa jadi, hal itu akan menjadikan sang kakak semakin tidak percaya diri dan takut menyampaikan pendapatnya. Bukankan rasa percaya diri pada anak sangat penting untuk masa depannya?

Ayah...bunda...hal kecil itu mungkin lepas dari perhatian kita, betapa anak kecilpun punya harga diri yang penting untuk dihargai. Jaga buah hati kita yuk, jadikan keluarga kita adalah tempat yang nyaman untuk tumbuh kembang anak kita dan yang paling penting menghargai hak-haknya. Tidak hanya kota saja khan yang dipromosiakan menjadi KLA alias Kota Layak Anak, tapi justru yang paling mendasar adalah keluarga kitalah yang harus pertama menjadi KLA yaitu Keluarga Layak Anak. (end)

x

Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya

     Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kanto...