Jumat, 28 Juli 2017

Belajar Tulus

Bismillah...

"TULUS"

Satu kata yang dalam dua hari belakangan terus membuat diri ini resah bin galau sekaligus berpikir ternyata  selama ini saya tidak tulus dalam melakukan sesuatu dan selalu ingin melihat hasil nyata dari apa yang saya lakukan.

Konklusi ini saya dapatkan setelah menjalani diskusi yang cukup panjang dengan seorang partner kerja dan mengingatkan saya untuk mengoreksi kembali niat saya dalam melakukan tindakan, sebaik apapun hasil yang kita harapkan.

"Selama ini mbak intan masih berada pada pola kerja transaksional. Jika melakukan sesuatu harus mendapatkan hasil yang langsung kelihatan. Padahal tidak semua usaha yang kita lakukan akan langsung memberikan dampak nyata. Hasilnya mungkin baru bisa dilihat entah berapa waktu ke depan." Begitu kira-kira perkataan bijak dari partner kerja saya yang luar biasa bisa menjadikan saya melakukan introspeksi diri.

Yups, ungkapan itu disampaikan ke saya setelah kita berdiskusi tentang keseharian yang kami hadapi. Sekian waktu mengemban amanah ini dan melakukan berbagai program dan strategi, rasa-rasanya kok saya belum bisa melihat perubahan yang saya harapkan. Apakah apa yang sudah coba saya upayakan tersebut tidak memberikan makna bagi mereka? Apakah yang sudah saya lakukan ini tidak ada artinya apa-apa?

Lalu saya tersadar bahwa mengharapkan adanya perubahan (meski itu perubahan positif) dari sebuah upaya yang kita lakukan itu ternyata tidak ada bedanya dengan menginginkan hasil yang diistilahkan partner saya tadi sebagai pola kerja transaksional.

Padahal yang saya harapkan, adalah sesuatu yang positif yaitu membuat semua bahagia, membuat semua nyaman, happy dan memberikan dampak positif dalam semangat beraktivits. Ah, semoga ini bukan sekadar pembelaan diri. Tapi sungguh, setiap apa yang saya lakukan, tidak ada satu pun yang memiliki niat buruk. Namun selurus apapun niat itu, saya merasa tidak semua pihak bisa menerima dengan baik. Hiks...sedih tiada tara.

Maka mulailah masalah masuk ke ranah rasa. Memang tidak mudah jika membahas masalah rasa. Tidak ada satu indikator pun yang bisa menjadi ukuran tentang rasa dan tidak mungkin membuat semua orang memiliki rasa yang sama.

Dan rasa adalah hal yang tidak bisa dipaksakan. Kejadian yang sama belum tentu dirasakan sama juga oleh semua orang, tergantung pengalaman dan latar belakangnya.

Trus bagaimana dong? Haruskan masih berharap orang lain memberikan feed back yang sama?  Ah, mungkin benar kata teman saya, bahwa saya masih berpegang pada pola kerja transaksional. Mengapa tidak mulai merubah pola saya, atau merubah target saya sehingga apapun yang saya terima atas kebaikan yang telah saya lakukan, tidak akan merubah dan melongsorkan semangat saya untuk terus melakukan kebaikan.

Do good, always good, for good...no matter what. Bismillah...




Wallahu'alam bishowab...

Kamis, 29 Juni 2017

Berdamai dengan kecewa

Bismillah...


Tuhan Dulu Pernah Aku Menagih SimpatiKepada Manusia Yang Alpa Jua ButaLalu Terheretlah Aku Dilorong GelisahLuka Hati Yang Berdarah Kini Jadi Kian Parah

Semalam Sudah Sampai KepenghujungnyaKisah Seribu Duka Ku Harap Sudah BerlaluTak Ingin Lagi Kuulangi KembaliGerak Dosa Yang Menghiris Hati
Tuhan Dosaku Menggunung TinggiTapi Rahmat-Mu Melangit LuasHarga Selautan SyukurkuHanyalah Setitis Nikmat-Mu Di Bumi
Tuhan Walau Taubat Sering KumungkirNamun Pengampunan-Mu Tak Pernah BertepiBila Selangkah Kurapat Pada-MuSeribu Langkah Kau Rapat Padaku
(Mengemis Kasih, Raihan)
Entah kenapa nasyid jadul yang akrab di telinga ketika masa-masa awal kuliah dulu kembali terlintas di benak dalam beberapa waktu terakhir. Seolah mengajak diri ini untuk menelaah lagi makna yang tersirat dari syair lagu tersebut. Makna yang tanpa disadari demikian dekat dengan keadaan yang belakangan memberikan warna dalam perjalanan diri.
Menjadi manusia yang sadar dengan ketidaksempurnaan tentunya menjadikan kita menjalani kodrat sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Namun seringkali, kelemahan itu menjadikan kita berharap kepada manusia, baik itu di lingkup terdekat kita pada keluarga, rekan-rekan kerja maupun masyarakat tempat tinggal kita.
Namun kadang, harapan yang kita terlalu berlebihan sehingga jika harapan tidak tercapai maka kita mudah untuk kecewa. Dan ketika kekecewaan bertumpuk dengan kekecewaan maka rasa sakit akan mendera. Keadaan akan semakin parah jika belum kering luka kecewa yang lama ditambah dengan rasa kecewa baru yang mendera. ow..ow..ow..sakitnya tuh di sini....
Nah, bagaimana supaya kita tidak mudah didera sakit karena kecewa?Resep yang paling ampuh adalah jangan terlalu berharap kepada manusia, gantungkan semua harapan hanya kepada Alloh SWT semata. Jika kita sudah melakukan usaha yang terbaik, maka pasrahkan semua hasil akhirnya kepada Alloh SWT. Senantiasa  berkhusnudzon bahwa apapun hasil akhir yang didapat, itulah yang terbaik dari Alloh karena Alloh tidak akan mengecewakan kita. Hasil akhir yang diberikan Alloh adalah yang terbaik untuk kita.
Lalu kepada sesama manusia, teruslah berbuat kebaikan meskipun kita dikecewakan. 
Terakhir, mengutip ungkapan Ust Ida Nur Laila dalam grup Parenting, yakinlah janji Allah, bahwa balasan kebaikan adalah kebaikan. Cepat atau lambat. Allah sesuai persangkaan hambanya. Allah tidak tidur dan tidak lupa. Jika orang lain enggan membalas kebaikanmu, mengabaikan dan mencibir, maka ingatlah Allah yang akan membalas. Tak perlu marah atau dendam. Tetap tersenyum dan bermuka cerah. Katakan kata-kata penduduk surga, kata-kata yang  mengandung keselamatan.
Ah...indahnya jika kita mampu berdamai dengan kecewa. Senantiasa menyandarkan diri bahwa Allohlah yang paling berkuasa atas segalanya.
5 syawal 1438 h29 juni 2017

Jumat, 23 Juni 2017

Power Syndrome

Bismillah...


Ini kisah berawal dari cerita seorang teman yang gemes dengan sebuah fenomena yang terjadi di lembaga tempat dia bekerja dimana terjadi pengunduran diri secara serempak yang dilakuan oleh rekan-rekan kerjanya karena ada kebijakan yang dirasa tidak pas yang ditetapkan untuk pemegang jabatan. Tidak enaknya lagi kebijakan tersebut ditetapkan sendiri oleh si pemegang kebijakan tersebut tanpa memperhatikan pendapat dari pihak-pihak yang terkena dampak kebijakan tersebut. Dan yang lebih tidak menyenangkan lagi adalah keputusan tersebut bersifat mutlak alias tidak dapat diganggu gugat.



"Tidak adakah forum yang bisa digunakan untuk mendiskusikan keputusan tersebut," tanyaku waktu itu. Dia hanya menggeleng kecut. Jika hanya satu dua orang yang tidak setuju dengan keputusan ini mungkin bisa dimaklumi. Tapi lain halnya jika mayoritas tidak sepakat dan keputusan itu tetap dipaksakan. Tidak ada ruang untuk dilakukan syuro karena sang pengambil keputusan merasa bahwa kebijakan yang dia ambil sudah 100% benar dan dia merasa paling berhak mengambil keputusan tersebut karena dia yang memegang jabatan sehingg dialah yang berhak memutuskan, tanpa memerlukan pertimbangan dari orang lain.


Ketika mendapati tidak ada lagi ruang untuk melakukan diskusi, maka rombongan karyawan yang harus terkena dampak menjalankan keputusan tersebut merasa berat dan akhirnya memilih untuk mengundurkan diri alias resign dari posisi mereka. Lalu apa sikap sang pengambil kebijakan? Dengan tegas (atau arogan?) dia berkata,"Silakan saja mengundurkan diri, ada banyak orang di luar sana yang berminat menduduki posisi yang Anda tinggalkan."


Gambaran di atas hanyalah satu fenomena saja. Gambaran tentang seorang yang merasa memiliki power besar dan memiliki hak untuk mengambil keputusan tanpa memedulikan pendapat orang lain. Istilah kekiniannya EGP lah "emang gue pikirin." Tanpa mengecilkan pertimbangan yang dijadikan dasar untuk mengambil keputusan tersebut, alangkah enaknya jika sebelum keputusan tersebut ditetapkan ada proses syuro yang dilakukan sehingga setiap orang bisa menerima keputusan ini dengan legowo.


Hmmm...bagaimanapun memegang amanah bernama jabatan itu berat baik mengemban amanah tersebut dengan baik maupun mempertanggungjawabkannya. Berhati-hati dalam mengambil kebijakan yang bisa menyebabkan sakit hati orang lain lebih utama dilakukan, lebih bijak serta menghindari gajala power syndrome, yaitu penyakit yang menjangkiti orang yang memiliki jabatan dan kekuasaan. 


Nah, gejala apakah yang bisa dijadikan indikasi adanya power syndrome?

1. Merasa paling berkuasa
Jabatan memang menjadikan kita memiliki kekuasaan untuk memutuskan dan melakukan sesuatu. Namun hati-hati, jika rasa memiliki itu terlalu dominan bisa menjadikan kita besar kepala dan sok berkuasa.


2. Merasa paling berhak memutuskan

Bolehlah kita memiliki jabatan, namun tidak kemudian membuat kita "semena-mena" dalam mengambil keputusan dan tidak mempertimbangkan orang-orang yang terkena dampak keputusan tersebut untuk sekedar mengeluarkan isi hati dan mengutarakan pendapat mereka. Hal itu akan lebih "nguwongke" dibandingkan dengan mengambil keputusan sendiri karena merasa paling berhak memutuskan. Bahaya...


3. Merasa paling benar

Tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan kita. Setinggi apapun jabatan  dan sebesar apapun kekuasan yang kita miliki selalu ada peluang untuk berbuat khilaf dan salah. Waspadalah. Dan jika kita sudah merasa paling benar sendiri, maka gejala power syndrome itu bisa jadi telah merasuki kita.


Yuks kita introspeksi diri. Selalu jaga hati dan senantiasa mendekatkan diri kepada Alloh. Bukankan setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap apa yang dia lakukan? 


Wallahu'alam bi showab...



23 juni 2017

h-1 menjelang ied 1438 h







Rabu, 14 Juni 2017

Ingin sehat, jangan lupa bahagia!!!

Bismillah...

Silaturahmi membawa banyak manfaat, salah satunya tentu bisa menambah ilmu. Nah, ulasan kali ini adalah ilmu yang saya dapat ketika bersilaturahmi bersama adik-adik dengan tema kesehatan muslimah. Sengaja dipilih silaturahmi karena targetnya menambah ilmu tentang kesehatan muslimah dan mempersiapkan masa depan bagi para calon bunda.

Nah, dari setiap kejadian pasti ada hikmahnya dan hikmah kali ini adalah bisa mendapat pencerahan terkait kesehatan wanita. Dan pencerahan akan lebih terasa jika banyak orang yang mendapatkan manfaatnya maka untuk itulah saat ini saya berbagi.

Ternyata sehat tidak hanya meliputi satu unsur yaitu jasmani, tapi ada unsur lain yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Unsur tersebut antara lain:

1. Sehat jasmani
Salah satu indikator yang harus terpenuhi untuk sehat yang pasti adalah sehat jasmani, fisik. Sehat fisik ini harus menjadi perhatian para ibu dan calon ibu. Nah, bagaimana cara supaya sehat fisik? Kuncinya ada 3, yaitu cukup asupan gizi, olahraga teratur dan cukup istirahat.

2. Sehat ruhani
Tidak cukup sehat jasmani jika ruhaninya eror maka dia tidak sehat. Maka dari itu ruhani harus terjaga. Tidak stres karena stres akan menghasilkan hormon yang membuat kita semakin lelah dan tentunya berdampak pada kesehatan. Tidak hanya menghindari stres, guna menjaga kesehatan faktor penting yang harus dijaga dan dimunculkan adalah rasa bahagia. Ketika kita bahagia maka akan menghasilkan hormon endorphin yang bermanfaat meningkatkan nafsu makan, meningkatkan sistem imunitas tubuh, mengurangi rasa nyeri dan tidur lebih nyenyak. So, kalau ingin sehat maka benar kata orang, jangan lupa bahagia.

3. Sehat sosial
Manusia adalah makhluk sosial, tak terkecuali seorang wanita. Menjadi makhluk sosial bisa diartikan dia tidak akan bisa hidup sendiri tanpa orang lain dan ternyata menjaga interaksi dan menjalin silaturahmi dengan orang lain itu bisa membuat kita lebih sehat. Maka jadilah makhluk sosial yang saling berhubungan dengan orang-orang di sekitar, jangan menjadi orang yang menyendiri dan terisolir dari lingkungan karena itu menyedihkan. Banyak berinteraksi dalam kegiatan-kegiatan di lingkungan akan menjadikan kita sehat sosial dan melengkapi unsur sehat.

4. Sehat ekonomi
Salah satu unsur yang sering kali terlewatkan adalah sehat ekonomi. Ternyata untuk menjadi sehat tidak cukup hanya fisik dan psikis saja namun faktor ekonomi juga memegang peranan penting dalam menciptakan tubuh yang sehat. Kefakiran tentulah membawa dampak yang besar pada kesehatan. Jadi, jika ingin sehat maka perekonomian juga harus diperhatikan. Mencari rejeki yang halal dan menjadikan kita mapan bisa mendukung terwujudnya manusia yang sehat.

Mari, wujudkan pribadi yang sehat. Karena sehat akan memperkokoh kita dan Alloh mencintai hamba-Nya yang kuat.

Wallahu'alam bi showab

Rabu, 07 Desember 2016

Perjalanan Membela Kitab Suci

 Bismillah...
Masih segar dalam ingatan aksi damai yang dilakukan ummat Islam pada 212 di Monas. Ketika membaca postingan teman-teman yang bergabung dalam aksi itu, terasa sangat gelora dan semangat yang luar biasa. Misi mereka HANYA satu, tidak ada yang lain, yaitu membela Kitab Suci yang telah dinistakan dan dikatakan sebagai sebuah kebohongan. Al Quran adalah dari Alloh SWT yang selalu terjaga kebenaran dan kesuciannya, siapapun kita, rasanya tidak akan setuju jika kitab yang menjadi tuntutan hidup kita dikatakan sebagai sebuah kebohongan atau digunakan untuk alat membohongi. Jika suatu benda digunakan sebagai alat untuk membohongi, maka pastilah dianggap benda itu tidak benar atau tidak baik bukan? Lalu apakah kita akan tinggal diam jika sesuatu yangdianggap tidak baik itu adalah Al Quran? Relakah kita jika Kitab Suci dihinakan?

Rasa itulah yang menggelora di hati jutaan insan yang berkumpul di sekitar Monas saat itu. Rela melakukan pengorbanan untuk menunjukkan kecintaan mereka kepada Al Quran. Lalu kita? Apa yang kita lakukan? Boro2 ikut membela, membacanya (Al Quran) saja hanya berkala kita lakukan. Kala2 iya, lebih banyak tidak, maka wajarlah jika kita sulit untuk merasakan semangat dan gelora kecintaan yang demikian besar. Bahkan ada dari kita yang sibuk bersuudzon bahkan memaki aksi damai tersebut atau efek yang ditimbulkannya (jalan ruwetlah, macet lah, dll). Tidak bisa menangkap agenda besar yang diperjuangkan dalam aksi itu, membela Al Quran, membela Islam. Sebuah perjalanan untuk membela Kitab Suci.

Dan aku, hanya sesekali merinding menyaksikan melalui media yang ada, termasuk membaca tulisan dari salah seorang yang tidak sengaja menyaksikan aksi damai ini :

Catatan Dr. Iswandi Syahputra (Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)......bagus 😭

Ada istilah baru “nyinyiers

Demi Allah... baru kali ini saya melihat aksi demo hingga menangis. Saya tidak kuat menahan rasa haru, bahagia, bangga, gembira, dan sedikit amarah semua berbaur menjadi satu.

Awalnya saya ke Jakarta untuk wawancara narasumber riset saya. Tapi sebuah penerbit juga mengusulkan saya menulis buku tentang aksi 411 dan 212, lebih kurang membahas 'Media Sosial dan Aksi Damai 411/212'. Karena kebetulan itu, saya bergerak hadir ke Monas pusat lokasi aksi 212.

Sambil menangis tersedu melihat aksi 212 saya telpon isteri untuk mengabarkan situasinya. Luar biasa, persatuan, kesatuan, kekompakan, persaudaraan, silaturrahmi umat Islam demikian nyata.

Pukul 07.00 WIB saya bergerak dari Cikini menuju Monas, ojeg yang saya tumpangi harus muter mencari jalan tikus. Semua jalan dan lorong mengarak ke Monas macet total. Perjalanan saya terhenti di Kwitang, dari Kwitang saya jalan kaki menuju Monas, hingga ke perempatan Sarinah. Saat sampai di Tugu Tani, dada saya mulai bergetar tak karuan. Seperti orang takjub tidak terkira. Umat Islam yang hadir saling mengingatkan untuk hati-hati, jangan injak taman, buang sampah pada tempatnya, segala jenis makanan sepanjang jalan gratis. Tidak ada caci maki seperti yang terjadi di sosial media. Saat itu sudah mulai perasaan berkecamuk, tapi masih bisa saya tahan.

Tepat di depan Kedubes AS, dada saya meledak menangis haru saat seorang kakek renta menawarkan saya buah Salak, gratis. Saya tanya, "Ini salak dari mana Kek?" "Saya beli sendiri dari tabungan", jawabnya. Saya hanya bisa terdiam dan terpaku menatapnya.

Di sebelahnya, ada juga seorang Ibu tua juga menawarkan makanan gratis yang dibungkus. Sepertinya mie atau nasi uduk. Bayangkan, Ibu itu pasti bangun lebih pagi untuk memasak makanan itu. Saya tanya, "Ini makanan Ibu masak sendiri?" "Iya," jawabnya. "Saya biasa jualan sarapan di Matraman, hari ini libur. Masakan saya gratis untuk peserta aksi". Masya Allah... Saya langsung lemes, mes, messss... Saya semakin lemes sebab obrolan kami disertai suara sayup orang berorasi dan gema suara takbir.

Da., sepanjang jalan yang saya lalui, saya menemukan semua keajaiban Aksi Super Damai 212. Pijat gratis, obat gratis, klinik gratis, makan dan minum gratis. Perasaan lain yang bikin saya merinding, tidak ada jarak dan batas antara umat Islam yang selama ini kena stigma sosial buatan mereka para nyinyiers dan haters sebagai 'Islam Jenggot', 'Islam Celana Komprang', 'Islam Kening Hitam', 'Islam Cadar', 'Islam Berjubah' dan stigma negatif lainnya. Semuanya bersatu dalam: Satu Islam, Satu Indonesia, dan Satu Manusia!

Sepanjang perjalanan, saya mendengar antara peserta bicara menggunakan bahasa daerah Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Aceh, Minang bahkan ada juga yang berbahasa Tionghoa. Mungkin mereka saudara kita dari kalangan non muslim.
Melihat itu semua, 'saya menyerah', lagi-lagi saya menyerah!

Saya tidak kuasa menahan gejolak rasa yang bergemuruh dalam dada. Saya putuskan menepi, mencari kafe sekitar lokasi. Kebetelun saya punya sahabat baik yang pengelola "Sere Manis Resto dan Cafe". Lokasinya strategis, pas di pojok Jl. Sabang dan Jl. Kebon Sirih. Tidak jauh dari bunderan BI dan Monas. Saya putuskan menyendiri masuk cafe itu untuk memesan secangkir kopi dan menyaksikan semua peristiwa dari layar TV dan Gadget yang terkadang diacak timbul tenggelam kekuatan sinyalnya.

Tapi di Resto/Cafe 'Sere Manis' itu juga saya temui umat Islam berkumpul membludak. Rupanya mereka antri mau mengambil wudhu yang disiapkan pengelola restoran. Tidak cuma itu, saya menemukan ketakjuban lain. Di dalam resto/cafe saya bertemu teman baru, seorang Scooter yang tinggal di daerah Cinere. Dia dan teman-temannya memilih berjalan kaki dari Cinere ke Monas (sekitar 40 KM) untuk merasakan kebahagiaan para santri yang berjalan dari Ciamis ke Jakarta. Masya Allah.... Saya semakin sangat kecil rasanya dibanding mereka semua. Ini kisah dan kesaksian saya tentang Aksi Super Damai 212. Mungkin ada ratusan atau ribuan orang seperti saya yang tidak terhitung atau tidak masuk dalam gambar aksi yang beredar luas. Kami orang yang lemah, tidak sekuat saudara kami yang berjalan kaki di Ciamis atau Cinere.

Maka, janganlah lagi menghina aksi ini. Apalagi jika hinaan itu keluar dari kepala seorang muslim terdidik. Tidak menjadi mulia dan terhormat Anda menghina aksi ini. Terbuat dari apa otak dan hati Anda hingga sangat ringan menghina aksi ini? Atau, apakah karena Anda mendapat beasiswa atau dana riset dari pihak tertentu kemudian dengan mudah menghina aksi ini?

Jika tidak setuju, cukuplah diam, kritik yang baik, atau curhatlah ke isteri Anda berdua. Jangan menyebar kebencian di ruang publik. Walau menyebar kebencian, saya tau kalian tidak mungkin dilaporkan umat Islam. Sebab umat Islam tau persis kemana hukum berpihak saat ini.

Terlepas ada kebencian dari para ‘nyinyiers’, saya bahagia bisa tidak sengaja ikut aksi damai 212 ini. Setidaknya saya bisa menularkan kisah dan semangat ini pada anak cucu saya sambil berkata: "Nak, saat kau bertanya ada dimana posisi Bapak saat aksi damai 2 Desember 2016? Bapak cuma buih dalam gelombang lautan umat Islam saat itu. Walau cuma buih, Bapak jelas ada pada posisi membela keimanan, keyakinan dan kesucian agama Islam. Jangan ragu dan takut untuk berpihak pada kebenaran yang kau yakini benar. Beriman itu harus dengan ilmu. Orang berilmu itu harus lebih berani. Dan mereka yang hadir atau mendukung aksi 212 adalah mereka yang beriman, berilmu dan berani. Maka jadilah kau mukmin yang berilmu dan pemberani anakku".

 DR Iswandi Syahputra
[Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta]

Tidak ada kata lain yang ingin kutuliskan dalam posting kali ini selain sebait doa: "Semoga Islam, agama yang menyelamatkan, bisa menjadi penyelamat seluruh ummat manusia. Dan semoga kita semua semakin dijaga keimanan kita, termotivasi untuk terus menambah amalan ibadah kita termasuk membaca Al Quran supaya kecintaan pada kitab suci bisa tumbuh pada diri kita, pada diriku dan dirimu. Iya....KAMU." (end)

Menunggu Anak Saat Penjemputan, Ini Hasilnya

     Bulan September kemarin bisa dikatakan masa jeda bagiku, karena sudah rehat dari kantor lama dan belum mulai menjalankan tugas di kanto...